Kamis, 24 Mei 2012

Perbandingan Mekanisme Pelaksanaan Putusan Peradilan Administrasi antara Indonesia dengan Thailand


Oleh : Arif Maulana
A. Masalah Pelaksanaan Putusan Peradilan Administrasi di Indonesia
Azas Prae Sumptio Iustae Causa (Azas Praduga Keabsahan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara) berlaku dalam hukum administrasi negara. Asas ini mendalilkan bahwa sebuah keputusan administrasi dianggap sah dan harus dijalankan, sampai ada pembatalan dari pengadilan, dalam hal ini pengadilan administrasi (PTUN). Berkenaan dengan kasus dalam hukum administrasi, pijakan asas ini menunjukkan  urgensi dari sebuah putusan pengadilan untuk mengoreksi putusan pejabat tata usaha negara yang keliru. Dengan putusan pengadilan tersebut putusan pejabat tata usaha negara dapat ditunda atau dibatalkan keberlakuannya.                                                                     Pelaksanaan putusan judicial adalah kunci utama untuk memberikan keadilan bagi para pencari keadilan dalam sengketa di Pengadilan, dalam hal ini khususnya terkait  sengketa hukum administrasi negara antara warga negara dengan pemerintah. Karena dengan pelaksanaan putusan tersebut, putusan hakim benar-benar dapat menjadi koreksi atas tindakan pemerintah dan mengambalikan hak warga negara. Sebaliknya jika putusan pengadilan tidak dijalankan tentu akan menghambat akses warga negara terhadap keadilan. Mengingat dalam negara hukum (Rechtstaats), peradilan administrasi menjadi salah satu kunci untuk mewujudkan negara hukum yang memberikan jaminan kepada setiap warga negara terhadap tindakan pemerintah, dengan tujuan agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan wewenang ataupun kesewenang-wenangan oleh pemerintah.[1] Hal ini sebagaimana dikemukakan Anna Erliyana mengutip W.R. Wade & C.F. Forsyth yang menegaskan bahwa tujuan utama dari Hukum Administrasi : the primary purpose of administrative law, therefore, is to keep the powers of government within their legal bounds, so as to protect the citizen against their abuse.[2]
Indonesia sendiri mengaku sebagai negara hukum dan memiliki peradilan administrasi untuk  mendukung terwujudnya cita-cita rechtstaats. UU No. 5 Tahun 1986 menjadi dasar awal munculnya peradilan administrasi di Indonesia yang dikenal dengan UU Peradilan Tata Usaha Negara. UU ini sudah disempurnakan dua kali yakni dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009. Terkait dengan pelaksanaan putusan peradilan administrasi dalam UU PTUN telah diubah juga selama tiga kali. Pengaturannya sendiri diatur dalam pasal 116. Berikut adalah perbandingan antara pasal 116 mengenai pelaksanaan putusan pengadilan.
Tabel. I
Perbandingan Tiga Undang-Undang PTUN di Indonesia.
UU No. 5 Tahun 1986
UU No.9 Tahun 2004
UU No.51 Tahun 2009
(1)  Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari;
(2)   Dalam hal empat bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3)   Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajibannya tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan tersebut;
(4)   Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya, ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan;
(5)   Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu dua bulan setelah pemberitahuan dari Ketua pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan Pengadilan tersebut;
(6)   Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal in kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
(1)Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari;
(2)  Dalam hal 4 (empat) bulan setelah Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;
(3)   Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut;
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi adminsitratif;
(5)   Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja;
(2)     Apabila setelah 60 (enam puluh ) hari kerja putusan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat dalam pasal 97 ayat (9) huruf a keputusan tata usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3)     Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut;
(4)     Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi adminsitratif;
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Disamping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan
(7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/ atau sanksi administrative diatur dengan peraturan perundang-undangan
Sumber : UU Peradilan Administrasi dan Perubahannya.
Penyempurnaan pengaturan dalam pasal diatas dilakukan agar pelaksanaan putusan dapat efektif dilaksanakan oleh pemerintah (sebagai tergugat dalam Sengketa Tata Usaha Negara). Mengingat kendala yang dialami di Indonesia bahwa putusan pengadilan seringkali tidak dipatuhi oleh pemerintah. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa di Indonesia, jaminan terhadap akses keadilan warga negara sebagai penggugat untuk memperoleh keadilan terhambat (Justice Delay) karena putusan hakim yang telah (inkracht van gewijde) tidak dilaksanakan. Disamping itu, pengaturan pelaksanaan upaya paksa tidak efektif untuk memaksa pemerintah (tergugat dalam Kasus TUN) untuk melaksanakan putusan pengadilan. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakanlah mekanisme upaya paksa yang relatif baru dalam pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara yang terus disempurnakan teknis pelaksanaannya dalam ketiga pasal dalam undang-undang diatas. Eksekusi putusan Peradilan TUN yang dilaksanakan sebelum adanya revisi UU Nomor 5 Tahun 1986 lebih dipengaruhi oleh asas self respect/self obicence dan sistem floating execution, yaitu kewenangan melaksanakan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, sepenuhnya diserahkan kepada badan atau pejabat yang berwenang tanpa adanya kewenangan bagi Peradilan TUN untuk menjatuhkan sanksi. Proses pelaksanaan putusan Peradilan TUN, setelah UU No. 5 Tahun 1986 direvisi melalui UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009, memperlihatkan dipergunakannya system fixed execution, yaitu eksekusi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh pengadilan melalui sarana-sarana pemaksa yang diatur didalam peraturan perundang-undangan.
Kondisi hukum di Indonesia yang seringkali tidak mematuhi putusan pengadilan Tata Usaha Negara berbeda dengan kondisi negara lain yang cenderung sudah mapan dalam praktek negara hukumnya.[3] Dalam studi perbandingan antara pengadilan administrasi di Prancis, Belanda, Belgia dan Luksemburg (Conseil D’Etat), Jerman (Bundesverwaltungsgericht), Yunani (Symvoulion Epikratias), Italia (Consiglio di Stato), Spanyol (Tribunal Supremo), Swiss (Tribunal Federal) dan Mahkamah Uni Eropa (European Union Court of Justice), Frank Esparraga mendapatkan salah satu kesimpulan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan administrasi di negara-negara tersebut tidak mengalami kendala yang berarti, disebabkan pada umumnya otoritas publik melaksanakan putusan pengadilan “…however, it can be said that in the countries examined, public authorities generally apply the decisions of the courts”.[4] Kendati ketaatan pejabat publik terhadap putusan pengadilan terbilang tinggi, jarang putusan pengadilan tidak dipatuhi, namun jika otoritas yang terkait masih enggan melaksanakan putusan pengadilan, kerangka penyelesaian sengketa administrasi disana menawarkan beberapa prosedur agar putusan ditindaklanjuti oleh pihak yang terkait seperti pengenaan denda atau dimungkinkannya gugatan ganti rugi ke peradilan umum seperti di Prancis dan Belgia.[5]
Tidak berbeda jauh dengan negara yang mapan secara hukum administrasi tersebut, negara tetangga indonesia, Thailand bisa menjadi contoh yang baik mengenai mekanisme hukum yang diterapkan agar putusan pengadila tata usaha negara dapat dipatuhi oleh pihak terkait (Pemerintah). Di negara Thailand meskipun peradilan administrasi baru saja lahir kurang lebih 10 tahun yang lalu[6], jauh lebih baik daripada PTUN di Indonesia.
Peradilan TUN di Thailand secara prosedur berperkara, hanya terdiri dari dua tingkat pemeriksaan saja. MA Peradilan TUN di Thailand adalah MA tersendiri, terlepas dari MA peradilan umum, dan peradilan lain-lainnya. Sistem peradilan dua tingkat dan MA tersendiri ini, banyak dianut di berbagai negara, seperti Belanda dan Prancis. Pada umumnya negara-negara yang mengatur sistem tersebut di atas, mengalami kemajuan pesat dalam perkembangan Peradilan Administasi (PTUN) di negara-negara tersebut sangat maju, berwibawa dan disegani”.[7]
Mengingat kelebihan dari peradilan tata usaha negara di negara Thailand penulis tertarik untuk membandingkan mekanisme pelaksanaan putusan peradilan tata usaha Indonesia dengan di Thailand. Harapannya dengan membandingkan mekanisme antara keduanya dapat diperoleh gambaran mengenai kelebihan dan kelemahan dari keduanya, selanjutnya dapat diperoleh manfaat dari perbandingan tersebut. Untuk kemudian dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan konsep pengaturan mengenai pelaksanaan putusan tata usaha negara di Indonesia.
B. Membandingkan Mekanisme Pelaksanaan Putusan Pengadilan TUN Indonesia dengan Thailand
Berikut adalah tabel perbandingan antara mekanisme pelaksanaan putusan pengadilan TUN antara Indonesia dengan Thailand. Perbandingan ini mengetangahkan mekanisme pelaksanaan putusan pengadilan di masing-masing negara.
Tabel. II Perbandingan
Mekanisme Pelaksanaan Putusan Pengadilan TUN
antara Indonesia dengan Thailand.
Indonesia[8]
Thailand[9]
(2)     Apabila setelah 60 (enam puluh ) hari kerja putusan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat dalam pasal 97 ayat (9) huruf a keputusan tata usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3)     Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut;
(4)     Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi adminsitratif;
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Disamping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan
Dalam melaksanakan putusan pengadilan, pengadilan berwenang sebagai berikut:
Dalam hal keputusan pejabat melanggar hukum, pengadilan dapat memerintahkan pencabutan keputusan atau penundaan sebagian atau seluruhnya Dalam hal pejabat melakukan suatu kelalaian atau menunda pelayanan dengan tidak masuk akal, maka pengadilan dapat memerintahkan pimpinan pejabat administrasi yang bersangkutan untuk melakukan suatu kewajiban yang ditentukan pengadilan.
Dalam hal keputusan pejabat diterbitkan dengan melanggar hukum atau menyalahi kewajibannya atau yang berkaitan dengan kontrak administrasi,
maka pengadilan dapat memerintahkan pembayaran sejumlah uang atau penyerahan barang atau melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan atau tanpa memberi jangka waktu atau keadaan/kondisi tertentu.
Berkaitan dengan suatu permohonan mengenai hak dan kewajiban seseorang, maka pengadilan dapat memerintahkan pemulihan hak dan kewajiban.
Memerintahkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang ditentukan hukum.
Putusan mengenai pembatalan keputusan pejabat. hams diumurnkan dalam lembaran negara (Gaverment Gazette).
Apabila putusan pengadilan menyangkut kewajiban untuk membayar sejumlah uang atau penyerahan barang, maka pengadilan dapat melakukan eksekusi terhadap harta kekayaan yang bersangkutan. Apabila putusan pengadilan menyangkut suatu perintah untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbutan, maka pengadilan dapat melakukan eksekusi dengan menggunakan Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis.
Di Pengadilan administrasi Thailand dikenal mekanisme mengenai Peringatan dan sanksi kepada tergugat yang tidak taat pada persidangan. Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim rapporteur, dan dalam hal tergugat pejabat tidak mengindahkan perintah hakim rapporteur atau tidak memenuhinya dalam waktu yang telah ditentukan, maka pengadilan dapat mengambil tindakan:
- melaporkan hal itu kepada atasannya atau kepada Perdana Menteri guna dijadikan sebagai koreksi, atau
- memberi paksaan atau menetapkan tindakan displiner, atau
- tanpa pemeriksaan pengadilan menjatuhkan hukuman penjara dengan alasan contempt of court.[10]
Berdasarkan paparan perbandingan diatas dapat dianalisis bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara mekanisme pelaksanaan putusan peradilan tata usaha negara di kedua Negara. Adapun persamaan mekanisme pelaksanaan putusan peradilan administrasi antara keduanya adalah :
1. Kedua negara sama-sama menggunakan mekanisme upaya paksa agar dipatuhinya putusan pengadilan tata usaha negara oleh tergugat.
2. Kedua negara menggunakan mekanisme uang paksa (dwangsom)
3. Kedua negara menggunakan mekanisme perintah kepada pejabat administrasi diatasnya untuk kemudian memerintahkan kepada pejabat TUN terkait (tergugat) untuk menjalankan putusan Pengadilan
Perbedaan antara keduanya :
1. Di Indonesia dengan tegas menyebut pejabat administrasi diatasnya adalah presiden selaku kepala pemerintahan (eksekutif) sedangkan dithailand tidak. Thailand hanya menyebutkannya sebagai  pimpinan pejabat administrasi yang bersangkutan.
2. Penggunaan mekanisme uang paksa antara kedua negara berbeda, di Thailand uang paksa diterapkan apabila putusan pengadilan menyangkut kewajiban untuk membayar sejumlah uang atau penyerahan barang dan menyangkut suatu perintah untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbutan terkait kontrak administrasi, sedangkan di Indonesia  uang paksa diterapkan dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, penggunaan mekanisme uang paksa di Thailand lebih luas penerapannya dibandingkan dengan di Indonesia
3. Di Indonesia digunakan mekanisme sanksi administratif bagi pejabat tata usaha Negara yang tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan di Thailand tidak. Thailand mengatur sanksi dengan menyebutkan bahwa Pengadilan memerintahkan pimpinan pejabat administrasi yang bersangkutan untuk melakukan suatu kewajiban yang ditentukan pengadilan. Selain itu juga diatur mengenai tindakan disipliner bagi pejabat TUN yang tidak taat pada persidangan maupun tidak mengindahkan perintah hakim.
4. Di Thailand Putusan mengenai pembatalan keputusan pejabat  tata usaha negara  harus  diumumkan dalam lembaran negara (Gaverment Gazette) namun di Indonesia tidak.
5. Pengadilan dapat melakukan eksekusi dengan menggunakan Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis terhadap harta kekayaan yang bersangkutan (tergugat PTUN), sementara di Indonesia belum jelas mengingat belum ada pengaturan pelaksanaan terkait dengan dwangsom.
6. Di Thailand dikenal mekanisme penghinaan terhadap institusi peradilan (contemp of court) bagi para pihak yang tidak melaksanakan perintah pengadilan sedangkan di Indonesia tidak.
7. Di Indonesia menggunakan mekanisme publikasi media massa untuk memberikan sanksi sosial bagi pejabat TUN yang mengabaikan putusan pengadilan sedangkan di Thailand tidak.
8. Thailand memiliki mekanisme contempt of court bagi pihak yang mengabaikan perintah pengadilan, sedangkan Indonesia tidak.
C. Kesimpulan
Merujuk kepada pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa antara Indonesia dengan thailand memiliki beberapa persamaan dan perbedaaan. Kemudian dari perbandingan antara persamaan dan perbedaan kedua Negara, diperoleh analisis bahwa terdapat beberapa konsep penting yang digunakan Thailand untuk mengefektifkan upaya paksa pelaksanaan putusan peradilan tata usaha negaranya. Konsep yang dimaksud merupakan bentuk ketegasan untuk mewujudkan jaminan kepastian akses keadilan administratif bagi warga negaranya, diantaranya adalah:
Pertama, mengenai kewenangan peradilan administrasi Thailand untuk melaksanakan eksekusi riil terhadap putusan peradilan administrasi yakni dengan menggunakan Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis terhadap harta kekayaan yang pejabat tata usaha negara yang mengabaikan putusan peradilan. Dalam konsep ini juga jelas bahwa ekseksui harta kekayaan tersebut adalah harta pribadi dari pejabat TUN yang melanggar bukan keuangan negara yang dimiliki lembaga publik tempat Pejabat TUN bekerja.[11]
Kedua, Thailand memiliki mekanise contempt of court bagi pejabat TUN yang tidak patuh terhadap perintah peradilan dapat dikenai sanksi serius yakni pengadilan dapat memberi paksaan atau menetapkan tindakan displiner terhadap pejabat TUN yang bersangkutan dengan -perkara, atau tanpa pemeriksaan pengadilan menjatuhkan hukuman penjara dengan alasan contempt of court.


DAFTAR  PUSTAKA

http://antho-goodwill-stia-watampone.blogspot.com/
Jimmly Asshiddiqie.2009. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: Penerbit  Gramedia
Anna Erliyana. 2005. Keputusan Presiden : Analisis Keppres R.I. 1987—1998. Jakarta. Program Pascarsarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Frank Esparraga, Director, Secretariat, Department of Veterans’ Affairs, Sydney, Developments in European Administrative Law. In Administrative Law under the Coalition Government, Edited by John McMillan, Published in Canberra by Australian Institute of Administrative Law Inc, 1998. Dalam http://ptunpalu.go.id/index.php?option=com_content&view=category&id=1&Itemid=341&FontSize=font-small diakses 23 Maret 2011
Mahkamah Agung RI. 2009. Laporan Studi Banding Ke Peradilan Administrasi Thailand. Jakarta: MA RI
administrative court 45 section 64. Act on establishment of administrative courts and administrative court procedure, b.e. 2542 (1999)
Sulistyo sebagaimana mengutip Lintong Oloan Siahaan, selengkapnya dalam Sulistyo, Penerapan Sistem Peradilan 2 (dua) tingkat untuk Peradilan TUN : Studi Tentang UU. No. 5 Tahun 2004 Perubahan Kedua UU. No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Sekolah Pasca Sarjana USU, 2007. Hal. 123-124. Dalam http://ptunpalu.go.id/index.php?option=com_content&view=category&id=1&Itemid=341&FontSize=font-small diakses 23 Maret 2011
ang, (4). .Adanya Peradilan Administrasi negara. Lihat dalam Jimmly Asshiddiqie.2009. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: Penerbit  Gramedia, hal. 199.
[2] W.R. Wade & C.F. Forsyth dalam Anna Erliyana, Keputusan Presiden : Analisis Keppres R.I. 1987—1998, Program Pascarsarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005. hal 11.
[3] Terdapat fakta empiris bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara masih sebatas “macan kertas”, hal ini ditunjukkan oleh disertasi Supandi yang menemukan bahwa sebagian besar pejabat di Sumatra Utara, sekitar 71, 41 persen, tidak mematuhi Putusan PTUN Medan. Pada tahun 2004, DR. SUpandi meneliti 180 putusan PTUN Medan (dari 2000 putusan sejak periode 1991-2003) yang memiliki kekuatan hukum tetap dan nilai eksekusi. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 20,59 persen putusan yang dilaksanakan oleh pejabat yang tergugat, Kompas Online. Susana Rita,”Belum Bertaring Karena Tak Punya Daya Paksa”. http://209.85.175.104/search?q-cache:ZFOGqiQsh6IJ: Kompas.com/kompas-cetak/061/13/politikhukum/2359537.htm.diakses pada 20 Mei 2011.
[4] Frank Esparraga, Director, Secretariat, Department of Veterans’ Affairs, Sydney, Developments in European Administrative Law. In Administrative Law under the Coalition Government, Edited by John McMillan, Published in Canberra by Australian Institute of Administrative Law Inc, 1998. Dalam http://ptunpalu.go.id/index.php?option=com_content&view=category&id=1&Itemid=341&FontSize=font-small diakses 23 Maret 2011
[5] Apabila negara tersebut menganut sistem monostik atau unifikasi peradilan (unity of jurisdicition), gugatan ke peradilan umum tidak diperlukan karena pengadilan administrasi tidak terlepas dari pengadilan umum, sedangkan apabila menganut sistem dualitas juridiksi (duality of jurisdiction), pengajuan gugatan ke peradilan umum ini disebabkan paham pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang memandang hakim administrasi tidak boleh mengambil alih keputusan di bidang pemerintahan (the judge can not be standing in the shoes of the decision-maker) seperti : perintah membayar kerugian atau membebankan denda. Perbedaan sistem seperti ini tidak mempengaruhi, tolak ukur dan kewenangan peradilan administrasi dalam membatalkan atau menyatakan ketidakabsahan keputusan atau tindakan administrasi pemerintah.
[6] Meskipun Peradilan Administrasi di Thailan baru dibentuk pada tahun 2001, akan tetapi keberadaannya telah ada sejak lama. Keberadaan Peradilan tersebut dapat ditelusuri sejak tahun 1874, Lihat dalam Mahkamah Agung RI. 2009. Laporan Studi Banding Ke Peradilan Administrasi Thailand. Jakarta: MA RI. Hal. 1
[7] Sulistyo sebagaimana mengutip Lintong Oloan Siahaan, selengkapnya dalam Sulistyo, Penerapan Sistem Peradilan 2 (dua) tingkat untuk Peradilan TUN : Studi Tentang UU. No. 5 Tahun 2004 Perubahan Kedua UU. No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Sekolah Pasca Sarjana USU, 2007. Hal. 123-124. Dalam http://ptunpalu.go.id/index.php?option=com_content&view=category&id=1&Itemid=341&FontSize=font-small diakses 23 Maret 2011
[8] Lihat dalam Pasal 116 UU No. 51Tahun 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar