Oleh : Arif Maulana
A. Masalah Pelaksanaan Putusan Peradilan Administrasi di Indonesia
Azas Prae Sumptio Iustae Causa
(Azas Praduga Keabsahan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara) berlaku
dalam hukum administrasi negara. Asas ini mendalilkan bahwa sebuah
keputusan administrasi dianggap sah dan harus dijalankan, sampai ada
pembatalan dari pengadilan, dalam hal ini pengadilan administrasi
(PTUN). Berkenaan dengan kasus dalam hukum administrasi, pijakan asas
ini menunjukkan urgensi dari sebuah putusan pengadilan untuk mengoreksi
putusan pejabat tata usaha negara yang keliru. Dengan putusan
pengadilan tersebut putusan pejabat tata usaha negara dapat ditunda atau
dibatalkan keberlakuannya.
Pelaksanaan putusan judicial adalah
kunci utama untuk memberikan keadilan bagi para pencari keadilan dalam
sengketa di Pengadilan, dalam hal ini khususnya terkait sengketa hukum
administrasi negara antara warga negara dengan pemerintah. Karena dengan
pelaksanaan putusan tersebut, putusan hakim benar-benar dapat menjadi
koreksi atas tindakan pemerintah dan mengambalikan hak warga negara.
Sebaliknya jika putusan pengadilan tidak dijalankan tentu akan
menghambat akses warga negara terhadap keadilan. Mengingat dalam negara
hukum (Rechtstaats), peradilan administrasi menjadi salah satu
kunci untuk mewujudkan negara hukum yang memberikan jaminan kepada
setiap warga negara terhadap tindakan pemerintah, dengan tujuan agar
jangan sampai terjadi penyalahgunaan wewenang ataupun
kesewenang-wenangan oleh pemerintah.[1] Hal ini sebagaimana
dikemukakan Anna Erliyana mengutip W.R. Wade & C.F. Forsyth yang
menegaskan bahwa tujuan utama dari Hukum Administrasi : the primary
purpose of administrative law, therefore, is to keep the powers of
government within their legal bounds, so as to protect the citizen
against their abuse.[2]
Indonesia sendiri mengaku sebagai negara hukum dan memiliki peradilan administrasi untuk mendukung terwujudnya cita-cita rechtstaats. UU
No. 5 Tahun 1986 menjadi dasar awal munculnya peradilan administrasi di
Indonesia yang dikenal dengan UU Peradilan Tata Usaha Negara. UU
ini sudah disempurnakan dua kali yakni dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan
UU No. 51 Tahun 2009. Terkait dengan pelaksanaan putusan peradilan
administrasi dalam UU PTUN telah diubah juga selama tiga kali.
Pengaturannya sendiri diatur dalam pasal 116. Berikut adalah
perbandingan antara pasal 116 mengenai pelaksanaan putusan pengadilan.
Tabel. I
Perbandingan Tiga Undang-Undang PTUN di Indonesia.
UU No. 5 Tahun 1986
|
UU No.9 Tahun 2004
|
UU No.51 Tahun 2009
|
(1)
Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh
Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang
mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari;
(2) Dalam hal empat bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3)
Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan
kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajibannya
tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar
Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan tersebut;
(4)
Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya, ketua Pengadilan
mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan;
(5)
Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu dua
bulan setelah pemberitahuan dari Ketua pengadilan harus sudah
memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan
putusan Pengadilan tersebut;
(6)
Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak
mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua
Pengadilan mengajukan hal in kepada Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
|
(1)Salinan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dikirimkan kepada para pihak dengan surat oleh panitera pengadilan
setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam
tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari;
(2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan,
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;
(3)
Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c,
dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban
tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada
Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengadilan
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut;
(4) Dalam
hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat bersangkutan
dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau
sanksi adminsitratif;
(5)
Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dimumkan pada media massa cetak setempat oleh
panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat
|
(1)
Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat oleh panitera
pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya
dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja;
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh ) hari kerja putusan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat dalam
pasal 97 ayat (9) huruf a keputusan tata usaha Negara yang
disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3)
Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c,
dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja
ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan
putusan pengadilan tersebut;
(4)
Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang
paksa dan atau sanksi adminsitratif;
(5) Pejabat
yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dimumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera
sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Disamping
diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk memerintahkan pejabat
tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga
perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan
(7) Ketentuan
mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata
cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/ atau sanksi administrative
diatur dengan peraturan perundang-undangan
|
Sumber : UU Peradilan Administrasi dan Perubahannya.
Penyempurnaan
pengaturan dalam pasal diatas dilakukan agar pelaksanaan putusan dapat
efektif dilaksanakan oleh pemerintah (sebagai tergugat dalam Sengketa
Tata Usaha Negara). Mengingat kendala yang dialami di Indonesia bahwa
putusan pengadilan seringkali tidak dipatuhi oleh pemerintah. Hal ini
sebenarnya menunjukkan bahwa di Indonesia, jaminan terhadap akses
keadilan warga negara sebagai penggugat untuk memperoleh keadilan
terhambat (Justice Delay) karena putusan hakim yang telah (inkracht van gewijde) tidak
dilaksanakan. Disamping itu, pengaturan pelaksanaan upaya paksa tidak
efektif untuk memaksa pemerintah (tergugat dalam Kasus TUN) untuk
melaksanakan putusan pengadilan. Untuk menjawab permasalahan tersebut
digunakanlah mekanisme upaya paksa yang relatif baru dalam pelaksanaan
putusan pengadilan tata usaha negara yang terus disempurnakan teknis
pelaksanaannya dalam ketiga pasal dalam undang-undang diatas. Eksekusi putusan Peradilan TUN yang dilaksanakan sebelum adanya revisi UU Nomor 5 Tahun 1986 lebih dipengaruhi oleh asas self respect/self obicence dan sistem floating execution,
yaitu kewenangan melaksanakan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan
hukum tetap, sepenuhnya diserahkan kepada badan atau pejabat yang
berwenang tanpa adanya kewenangan bagi Peradilan TUN untuk menjatuhkan
sanksi. Proses pelaksanaan putusan Peradilan TUN, setelah UU No. 5 Tahun
1986 direvisi melalui UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009,
memperlihatkan dipergunakannya system fixed execution, yaitu
eksekusi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh pengadilan melalui
sarana-sarana pemaksa yang diatur didalam peraturan perundang-undangan.
Kondisi
hukum di Indonesia yang seringkali tidak mematuhi putusan pengadilan
Tata Usaha Negara berbeda dengan kondisi negara lain yang cenderung
sudah mapan dalam praktek negara hukumnya.[3] Dalam studi perbandingan antara pengadilan administrasi di Prancis, Belanda, Belgia dan Luksemburg (Conseil D’Etat), Jerman (Bundesverwaltungsgericht), Yunani (Symvoulion Epikratias), Italia (Consiglio di Stato), Spanyol (Tribunal Supremo), Swiss (Tribunal Federal) dan Mahkamah Uni Eropa (European Union Court of Justice),
Frank Esparraga mendapatkan salah satu kesimpulan bahwa pelaksanaan
putusan pengadilan administrasi di negara-negara tersebut tidak
mengalami kendala yang berarti, disebabkan pada umumnya otoritas publik
melaksanakan putusan pengadilan “…however, it can be said that in the countries examined, public authorities generally apply the decisions of the courts”.[4]
Kendati ketaatan pejabat publik terhadap putusan pengadilan terbilang
tinggi, jarang putusan pengadilan tidak dipatuhi, namun jika otoritas
yang terkait masih enggan melaksanakan putusan pengadilan, kerangka
penyelesaian sengketa administrasi disana menawarkan beberapa prosedur
agar putusan ditindaklanjuti oleh pihak yang terkait seperti pengenaan
denda atau dimungkinkannya gugatan ganti rugi ke peradilan umum seperti
di Prancis dan Belgia.[5]
Tidak
berbeda jauh dengan negara yang mapan secara hukum administrasi
tersebut, negara tetangga indonesia, Thailand bisa menjadi contoh yang
baik mengenai mekanisme hukum yang diterapkan agar putusan pengadila
tata usaha negara dapat dipatuhi oleh pihak terkait (Pemerintah). Di
negara Thailand meskipun peradilan administrasi baru saja lahir kurang
lebih 10 tahun yang lalu[6], jauh lebih baik daripada PTUN di Indonesia.
Peradilan TUN di Thailand secara prosedur berperkara, hanya terdiri
dari dua tingkat pemeriksaan saja. MA Peradilan TUN di Thailand adalah
MA tersendiri, terlepas dari MA peradilan umum, dan peradilan
lain-lainnya. Sistem
peradilan dua tingkat dan MA tersendiri ini, banyak dianut di berbagai
negara, seperti Belanda dan Prancis. Pada umumnya negara-negara yang
mengatur sistem tersebut di atas, mengalami kemajuan pesat dalam
perkembangan Peradilan Administasi (PTUN) di negara-negara tersebut
sangat maju, berwibawa dan disegani”.[7]
Mengingat
kelebihan dari peradilan tata usaha negara di negara Thailand penulis
tertarik untuk membandingkan mekanisme pelaksanaan putusan peradilan
tata usaha Indonesia dengan di Thailand. Harapannya dengan membandingkan
mekanisme antara keduanya dapat diperoleh gambaran mengenai kelebihan
dan kelemahan dari keduanya, selanjutnya dapat diperoleh manfaat dari
perbandingan tersebut. Untuk kemudian dapat memberikan masukan bagi
penyempurnaan konsep pengaturan mengenai pelaksanaan putusan tata usaha
negara di Indonesia.
B. Membandingkan Mekanisme Pelaksanaan Putusan Pengadilan TUN Indonesia dengan Thailand
Berikut adalah tabel perbandingan antara mekanisme pelaksanaan putusan pengadilan TUN antara Indonesia dengan Thailand. Perbandingan ini mengetangahkan mekanisme pelaksanaan putusan pengadilan di masing-masing negara.
Tabel. II Perbandingan
Mekanisme Pelaksanaan Putusan Pengadilan TUN
antara Indonesia dengan Thailand.
Indonesia[8]
|
Thailand[9]
|
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh ) hari kerja putusan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat dalam
pasal 97 ayat (9) huruf a keputusan tata usaha Negara yang
disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3)
Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) ayat (9) huruf b dan c,
dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja
ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan
putusan pengadilan tersebut;
(4)
Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang
paksa dan atau sanksi adminsitratif;
(5) Pejabat
yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dimumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak
tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Disamping
diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk memerintahkan pejabat
tersebut melaksanakan
|
Dalam melaksanakan putusan pengadilan, pengadilan berwenang sebagai berikut:
Dalam
hal keputusan pejabat melanggar hukum, pengadilan dapat memerintahkan
pencabutan keputusan atau penundaan sebagian atau seluruhnya Dalam
hal pejabat melakukan suatu kelalaian atau menunda pelayanan dengan
tidak masuk akal, maka pengadilan dapat memerintahkan pimpinan pejabat administrasi yang bersangkutan untuk melakukan suatu kewajiban yang ditentukan pengadilan.
Dalam
hal keputusan pejabat diterbitkan dengan melanggar hukum atau
menyalahi kewajibannya atau yang berkaitan dengan kontrak
administrasi,
maka pengadilan dapat memerintahkan pembayaran
sejumlah uang atau penyerahan barang atau melakukan atau tidak
melakukan suatu perbuatan dengan atau tanpa memberi jangka waktu atau
keadaan/kondisi tertentu.
Berkaitan
dengan suatu permohonan mengenai hak dan kewajiban seseorang, maka
pengadilan dapat memerintahkan pemulihan hak dan kewajiban.
Memerintahkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang ditentukan hukum.
Putusan mengenai pembatalan keputusan pejabat. hams diumurnkan dalam lembaran negara (Gaverment Gazette).
Apabila
putusan pengadilan menyangkut kewajiban untuk membayar sejumlah uang
atau penyerahan barang, maka pengadilan dapat melakukan eksekusi
terhadap harta kekayaan yang bersangkutan. Apabila putusan pengadilan
menyangkut suatu perintah untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
perbutan, maka pengadilan dapat melakukan eksekusi dengan menggunakan
Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis.
Di Pengadilan administrasi Thailand dikenal mekanisme mengenai Peringatan dan sanksi kepada tergugat yang tidak taat pada persidangan. Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim rapporteur, dan dalam hal tergugat pejabat tidak mengindahkan perintah hakim rapporteur atau tidak memenuhinya dalam waktu yang telah ditentukan, maka pengadilan dapat mengambil tindakan:
- melaporkan hal itu kepada atasannya atau kepada Perdana Menteri guna dijadikan sebagai koreksi, atau
- memberi paksaan atau menetapkan tindakan displiner, atau
- tanpa pemeriksaan pengadilan menjatuhkan hukuman penjara dengan alasan contempt of court.[10]
|
Berdasarkan
paparan perbandingan diatas dapat dianalisis bahwa terdapat persamaan
dan perbedaan antara mekanisme pelaksanaan putusan peradilan tata usaha
negara di kedua Negara. Adapun persamaan mekanisme pelaksanaan putusan peradilan administrasi antara keduanya adalah :
1. Kedua negara sama-sama menggunakan mekanisme upaya paksa agar dipatuhinya putusan pengadilan tata usaha negara oleh tergugat.
2. Kedua negara menggunakan mekanisme uang paksa (dwangsom)
3. Kedua negara menggunakan mekanisme
perintah kepada pejabat administrasi diatasnya untuk kemudian
memerintahkan kepada pejabat TUN terkait (tergugat) untuk menjalankan
putusan Pengadilan
Perbedaan antara keduanya :
1. Di
Indonesia dengan tegas menyebut pejabat administrasi diatasnya adalah
presiden selaku kepala pemerintahan (eksekutif) sedangkan dithailand
tidak. Thailand hanya menyebutkannya sebagai pimpinan pejabat
administrasi yang bersangkutan.
2. Penggunaan mekanisme uang paksa antara kedua negara berbeda, di Thailand uang paksa diterapkan apabila
putusan pengadilan menyangkut kewajiban untuk membayar sejumlah uang
atau penyerahan barang dan menyangkut suatu perintah untuk melakukan
atau tidak melakukan suatu perbutan terkait kontrak administrasi,
sedangkan di Indonesia uang paksa diterapkan dalam hal tergugat tidak
bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dalam hal ini, penggunaan mekanisme uang paksa di Thailand
lebih luas penerapannya dibandingkan dengan di Indonesia
3. Di
Indonesia digunakan mekanisme sanksi administratif bagi pejabat tata
usaha Negara yang tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan di Thailand tidak.
Thailand mengatur sanksi dengan menyebutkan bahwa Pengadilan
memerintahkan pimpinan pejabat administrasi yang bersangkutan untuk
melakukan suatu kewajiban yang ditentukan pengadilan. Selain itu juga
diatur mengenai tindakan disipliner bagi pejabat TUN yang tidak taat
pada persidangan maupun tidak mengindahkan perintah hakim.
4. Di Thailand Putusan mengenai pembatalan keputusan pejabat tata usaha negara harus diumumkan dalam lembaran negara (Gaverment Gazette) namun di Indonesia tidak.
5. Pengadilan dapat melakukan eksekusi dengan menggunakan Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis terhadap
harta kekayaan yang bersangkutan (tergugat PTUN), sementara di
Indonesia belum jelas mengingat belum ada pengaturan pelaksanaan terkait
dengan dwangsom.
6. Di Thailand dikenal mekanisme penghinaan terhadap institusi peradilan (contemp of court) bagi para pihak yang tidak melaksanakan perintah pengadilan sedangkan di Indonesia tidak.
7.
Di Indonesia menggunakan mekanisme publikasi media massa untuk
memberikan sanksi sosial bagi pejabat TUN yang mengabaikan putusan
pengadilan sedangkan di Thailand tidak.
8. Thailand memiliki mekanisme contempt of court bagi pihak yang mengabaikan perintah pengadilan, sedangkan Indonesia tidak.
C. Kesimpulan
Merujuk
kepada pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa antara Indonesia
dengan thailand memiliki beberapa persamaan dan perbedaaan. Kemudian
dari perbandingan antara persamaan dan perbedaan kedua Negara, diperoleh
analisis bahwa terdapat beberapa konsep penting yang digunakan Thailand
untuk mengefektifkan upaya paksa pelaksanaan putusan peradilan tata
usaha negaranya. Konsep yang dimaksud merupakan bentuk ketegasan untuk
mewujudkan jaminan kepastian akses keadilan administratif bagi warga
negaranya, diantaranya adalah:
Pertama,
mengenai kewenangan peradilan administrasi Thailand untuk melaksanakan
eksekusi riil terhadap putusan peradilan administrasi yakni dengan menggunakan Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis terhadap
harta kekayaan yang pejabat tata usaha negara yang mengabaikan putusan
peradilan. Dalam konsep ini juga jelas bahwa ekseksui harta kekayaan
tersebut adalah harta pribadi dari pejabat TUN yang melanggar bukan
keuangan negara yang dimiliki lembaga publik tempat Pejabat TUN bekerja.[11]
Kedua, Thailand memiliki mekanise contempt
of court bagi pejabat TUN yang tidak patuh terhadap perintah peradilan
dapat dikenai sanksi serius yakni pengadilan dapat memberi paksaan atau menetapkan tindakan displiner terhadap pejabat TUN yang bersangkutan dengan -perkara, atau tanpa pemeriksaan pengadilan menjatuhkan hukuman penjara dengan alasan contempt of court.
DAFTAR PUSTAKA
http://antho-goodwill-stia-watampone.blogspot.com/
Jimmly Asshiddiqie.2009. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: Penerbit Gramedia
Anna Erliyana. 2005. Keputusan Presiden : Analisis Keppres R.I. 1987—1998. Jakarta. Program Pascarsarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Frank Esparraga, Director, Secretariat, Department of Veterans’ Affairs, Sydney, Developments in European Administrative Law. In Administrative Law under the Coalition Government, Edited by John McMillan, Published in Canberra by Australian Institute of Administrative Law Inc, 1998. Dalam http://ptunpalu.go.id/index.php?option=com_content&view=category&id=1&Itemid=341&FontSize=font-small diakses 23 Maret 2011
Mahkamah Agung RI. 2009. Laporan Studi Banding Ke Peradilan Administrasi Thailand. Jakarta: MA RI
administrative court 45 section 64. Act on establishment of administrative courts and administrative court procedure, b.e. 2542 (1999)
Sulistyo sebagaimana mengutip Lintong Oloan Siahaan, selengkapnya dalam Sulistyo, Penerapan
Sistem Peradilan 2 (dua) tingkat untuk Peradilan TUN : Studi Tentang
UU. No. 5 Tahun 2004 Perubahan Kedua UU. No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung, Sekolah Pasca Sarjana USU, 2007. Hal. 123-124. Dalam http://ptunpalu.go.id/index.php?option=com_content&view=category&id=1&Itemid=341&FontSize=font-small diakses 23 Maret 2011
ang, (4). .Adanya Peradilan Administrasi negara. Lihat dalam Jimmly Asshiddiqie.2009. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: Penerbit Gramedia, hal. 199.
[2] W.R. Wade & C.F. Forsyth dalam Anna Erliyana, Keputusan Presiden : Analisis Keppres R.I. 1987—1998, Program Pascarsarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005. hal 11.
[3] Terdapat
fakta empiris bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara masih sebatas
“macan kertas”, hal ini ditunjukkan oleh disertasi Supandi yang
menemukan bahwa sebagian besar pejabat di Sumatra Utara, sekitar 71, 41
persen, tidak mematuhi Putusan PTUN Medan. Pada tahun 2004, DR. SUpandi
meneliti 180 putusan PTUN Medan (dari 2000 putusan sejak periode
1991-2003) yang memiliki kekuatan hukum tetap dan nilai eksekusi. Dari
jumlah tersebut hanya sekitar 20,59 persen putusan yang dilaksanakan
oleh pejabat yang tergugat, Kompas Online. Susana Rita,”Belum Bertaring
Karena Tak Punya Daya Paksa”. http://209.85.175.104/search?q-cache:ZFOGqiQsh6IJ: Kompas.com/kompas-cetak/061/13/politikhukum/2359537.htm.diakses pada 20 Mei 2011.
[4] Frank Esparraga, Director, Secretariat, Department of Veterans’ Affairs, Sydney, Developments in European Administrative Law. In Administrative Law under the Coalition Government, Edited by John McMillan, Published in Canberra by Australian Institute of Administrative Law Inc, 1998. Dalam http://ptunpalu.go.id/index.php?option=com_content&view=category&id=1&Itemid=341&FontSize=font-small diakses 23 Maret 2011
[5] Apabila negara tersebut menganut sistem monostik atau unifikasi peradilan (unity of jurisdicition),
gugatan ke peradilan umum tidak diperlukan karena pengadilan
administrasi tidak terlepas dari pengadilan umum, sedangkan apabila
menganut sistem dualitas juridiksi (duality of jurisdiction), pengajuan gugatan ke peradilan umum ini disebabkan paham pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang memandang hakim administrasi tidak boleh mengambil alih keputusan di bidang pemerintahan (the judge can not be standing in the shoes of the decision-maker) seperti
: perintah membayar kerugian atau membebankan denda. Perbedaan sistem
seperti ini tidak mempengaruhi, tolak ukur dan kewenangan peradilan
administrasi dalam membatalkan atau menyatakan ketidakabsahan keputusan
atau tindakan administrasi pemerintah.
[6]
Meskipun Peradilan Administrasi di Thailan baru dibentuk pada tahun
2001, akan tetapi keberadaannya telah ada sejak lama. Keberadaan
Peradilan tersebut dapat ditelusuri sejak tahun 1874, Lihat dalam
Mahkamah Agung RI. 2009. Laporan Studi Banding Ke Peradilan Administrasi Thailand. Jakarta: MA RI. Hal. 1
[7] Sulistyo sebagaimana mengutip Lintong Oloan Siahaan, selengkapnya dalam Sulistyo, Penerapan
Sistem Peradilan 2 (dua) tingkat untuk Peradilan TUN : Studi Tentang
UU. No. 5 Tahun 2004 Perubahan Kedua UU. No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung, Sekolah Pasca Sarjana USU, 2007. Hal. 123-124. Dalam http://ptunpalu.go.id/index.php?option=com_content&view=category&id=1&Itemid=341&FontSize=font-small diakses 23 Maret 2011
[8] Lihat dalam Pasal 116 UU No. 51Tahun 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar