I. HISTORICAL BUMN
Pada awalnya BUMN adalah hasil nasionalisasi ex-perusahaan-perusahaan asing (Belanda) yang kemudian ditetapkan sebagai perusahaan Negara. Kemudian de-gan UU No. 1 Prp 1969 dibentuklah pembagian 3 jenis bentuk Badan Usaha Milik Negara menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Persero. Pembagian ini dibentuk sesuai dengan tugas, fungsi dan misi Usaha pada waktu itu.
Filosofi mengapa dibentuk Badan Usaha Milik Negara adalah karena berdasarkan pada bunyi ketentuan UU Pasal 33 khususnya ayat (2) dan (3) yang mengandung maksud bahwa; cabang-cabang produksi penting bagi Negara yang menguasai ha-jat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Kemudian bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan demkian tugas pertama Negara dengan membentuk badan usaha adalah untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat, manakala sektor-sektor tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta. Kemudian tugas-tugas seperti itu diterje-mahkan sebagai bentuk “pioneering” usaha oleh Negara yang membuat BUMN menjadi agen pembangunan/agent of development.
Pemahaman BUMN sebagai agent of development berlanjut sampai dengan peri-ode tahun 80an, yang kemudian pemahaman tersebut membawa dampak “negatif/minir” karena fungsi kontrol terhadap BUMN dianggap sangat lemah, BUMN sebagai sarang korupsi dan lain-lain.
Pada periode akhir 80an, tepatnya 1989, manajemen BUMN dibenahi sekaligus di-luruskan kembali fokus usahanya serta ditata kembali pola reportingnya, yaitu den-gan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan No. 741/1989 yang mewajibkan manajemen BUMN membuat laporan kerja dan laporan keuangannya sekaligus mempublikasikannya. Hal ini sebenarnya merupakan cerminan dari pemberlakuan program-program Good Corporate Governance, antara lain dengan mempublikasi-kan laporan keuangan berarti telah terjadi pembelajaran dan pendisiplinan BUMN terhadap pelaksanaan prinsip GCG (keterbukaan) sekaligus pembelajaran penera-pan protokol Pasar Modal (capital market protocol) mulai pada waktu itu. Dengan penerapan prinsip-prinsip GCG, sekaligus terkandung maksud untuk dapat memisahkan fungsi kepemilikan dan fungsi sebagai regulator. Hal ini bila tidak di-pahamkan tentang pemisahan fungsi dimaksud akan membawa akibat adanya intervensi-intervensi yang dimulai dari pemilik kemudian akan diikuti oleh pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan.
II. SEKTOR USAHA BUMN
Pada dasarnya sektor-sektor usaha yang dilakukan oleh BUMN mencakup hampir seluruh sektor dan bidang usaha yang ada dimana didalamnya terdapat 11 kelom-pok besar sektor, yaitu;
Luasnya sektor dan bidang usaha yang dilakukan oleh BUMN mengesankan bahwa semua sektor usaha menjadi monopoli badan usaha Negara. Dari kajian yang kami lakukan, sebaiknya Pemerintah bertahan pada pengelolaan dibidang yang me-menuhi kriteria dibawah ini
Bila demikian halnya perlu dicarikan solusi terhadap sektor/bidang usaha apa saja yang tepat dikelola/dilakukan oleh BUMN yang juiga mengacu pada ketentuan pasal 33 UU 1945 dimaksud dalam kriteria kriteria diatas.
III. KINERJA BUMN
Saat ini BUMN berjumlah 139 yang dalam pelaksanaan tugasnya masih memerlu-kan beberapa perbaikan-perbaikan sistem manajemennya untuk mengangkat kiner-janya. Perangkat perbaikan tersebut termasuk untuk menciptakan kontrol sistem, oleh karenanya sejak tahun 2002 diwajibkan bagi seluruh BUMN untuk menerap-kan program GCG yang kemudian diikuti dengan penerapan program-program lain yang dapat menunjang kinerjanya seperti penerapan program Risk Management yang gencar diwajibkan sejak awal 2006 ini, selain beberapa BUMN yang bergerak di bidang industri-industri penting seperti Telkom, PLN, Perbankan dan Industri-industri berbasis teknologi tingggi telah lebih dulu menerapkan program Risk Man-agement ini. dengan melaksanakan program-program tersebut perangkat-perangkat korporasi lainnya yang juga perlu ditingkatkan adalah kualitas manaje-men/sumber daya manusia agar lebih mempunyai visi pada orientasi bisnis dan berani mengambil keputusan-keputusan bisnis, sehingga paradigma BUMN secara simultan dapat diubah, termasuk mindset manajemen, karyawan dan sistem teknologinya juga (perlahan) harus dilakukan perombakan.
Hingga saat ini dengan upaya-upaya yang telah dilakukan nyatanya membawa peruba-han, lebih nampak pada indikasi meningkatnya jumlah BUMN yang bertambah sehat dan berkurangnya BUMN rugi.
Selain perusahaan-perusahaan yang dapat menunjukan peningkatan kinerja dari sisi perolehan laba, tentunya dapat dibuktikan dari sisi Negara yang memperoleh Dividen selaku pemegang saham, dan pajak, tidak tertutup pula sumbangan retribusi daerah.
Kemudian dari sisi pasar modal, dapat dikatakan bahwa BUMN adalah salah satu indikator tentang dinamisnya perdagangan saham dan obligasi di bursa efek, dimana 12 BUMN yang listed saham di bursa (12 BUMN) mencapai 36.8% pada tahun 2004, dan 34.2% pada tahun 2006 dari nilai transaksi perdagangan di bursa, dengan total kapitalisasi pasar BUMN sejak 2001 s/d 2006 mencapai ± Rp.273 Trilliun. Belum lagi bila dihitung dengan atraktifnya perdagangan obligasi yang di-issued oleh BUMN.
IV. KEBIJAKAN YANG AKAN DITEMPUH
Namun patut kita cermati, bahwa kinerja yang tergambar tersebut tidak tersebar se-cara merata di semua BUMN. Jika kita urutkan BUMN berdasarkan angka har-ta/aset, ekuitas, penjualan, dan laba bersih, kemudian kita pilih BUMN yang memiliki setidaknya 3 figur yang termasuk 25 terbesar pada kategorinya, maka akan kita da-patkan 22 BUMN yang memenuhi kategori ini dan bisa kita katakan sebagai BUMN terbesar, dimana 8 diantaranya adalah BUMN Tbk. Bila dibandingkan dengan jum-lah agregat seluruh BUMN, maka 22 BUMN ini memiliki 92.21% aset, 92.64% ekui-tas, 87.16% penjualan dan 91.78% laba bersih, atau dengan kata lain dari 139 BUMN yang kita miliki, 117 BUMN diantaranya hanya memiliki proporsi kurang dari 10% terhadap keseluruhan BUMN. Hal ini mengimplikasikan adanya kinerja yang ti-dak optimal pada sebagian besar BUMN dan urgensi pertimbangan mengenai jum-lah dan besaran BUMN yang ideal (rightsizing policy).
Kebijakan rightsizing BUMN akan ditempuh dengan melakukan merjer/konsolidasi, holding, maupun privatisasi sehingga pada tahun 2009 jumlah BUMN diharapkan akan menjadi 89 dan selanjutnya menjadi 25 pada tahun 2020, yang diharapkan merupakan ukuran yang ideal sehingga kita mampu memiliki BUMN dengan daya saing tinggi dan merupakan pemain utama di pasar internasional.
Kebijakan rightsizing ini merupakan bagian dari upaya profitisasi BUMN yang mengacu pada pemetaan BUMN dengan membagi BUMN menjadi 2 kelompok yaitu BUMN yang menjalankan fungsi public service obligation (PSO) dan BUMN komer-sial. Pengelompokan tersebut sangat penting agar masing-masing BUMN tersebut benar-benar memperoleh penanganan yang tepat.
Tidak kalah pentingnya adalah Revitalisasi BUMN melalui restrukturisasi sektoral dengan memperhatikan peraturan/perundangan yang ada dan restrukturisasi peru-sahaan melalui penerapan key performance indicator (KPI) dan GCG secara konsis-ten. Melalui restrukturisasi sektoral tersebut, diharapkan setiap kebijakan yang di-ambil oleh Kementerian Negara BUMN akan sejalan dengan kebijakan dari depar-temen teknis. Di samping itu, melalui penerapan KPI dan GCG secara konsisten, di-harapkan akan tercapai BUMN yang terfokus, memiliki core competence, well per-formed dan well managed serta menjadi champion di bidangnya.
Bahwa keberadaan BUMN memberikan pula efek mutiplier selain sebagai dinamisa-tor pasar mengingat tugas dan fungsi BUMN selain berorientasi kpd laba dan laya-nan umum, juga menjadi katalisator terhadap pertumbuhan ekonomi di level me-nengah kecil. yaitu dapat dibuktikan dengan kepesertaan BUMN terhadap pembina-an dan pemberian pendampingan bimbingan/bantuan teknis kepada UKM-UKM yang merupakan mitra binaannya. Efek multiplier tersebut tentunya akan berdampak pada pertumbuhan industri/ekonomi, selain penyiapan lapangan pekerjaan bagi ma-syarakat. sebagaimana diketahui 139 BUMN memiliki total nilai aset sebesar RP. 1300 Triliun, ternyata dalam pelaksanaannya masih dirasakan adanya kekurangan-kekurangan, antara lain apabila dillihat dari sisi efisiensi tenaga kerja yang ada. Pada dasarnya jumlah tenaga kerja yang ada pada BUMN-BUMN bisa dikatagori-kan overstaffing. Namun bila kita memperhatikan amanah dari UUD 1945, tersirat bahwa Negara perlu menyediakan cukup lapangan pekerjaan bagi warganya, oleh karenanya BUMN-BUMN sebagai suatu badan usaha yang dimiliki Negara sekaligus sebagai alat produksi tentunya harus mempertimbangkan tentang penampungan te-naga kerja. Sehingga efisiensi tenaga kerja di BUMN ada anggapan tidak/bukan menjadi sorotan utama dikaitkan dengan performa kinerja perusahaan.
V. MODEL UNTUK MENUNJANG PERTUMBUHAN EKONOMI
Untuk mewujudkan amanah Undang-undang No. 19 tahun 2003 mengenai Badan Usaha Milik Negara pasal 2 ayat (1) butir (a) tentang salah satu maksud dan tujuan pendirian BUMN yaitu “memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya” maka Kemente-rian BUMN telah menyusun strategi penataan BUMN kedepan yang berada dalam kerangka rightsizing policy yang tadi telah kami jelaskan. Untuk meningkatkan kon-tribusi BUMN dalam pertumbuhan ekonomi Kementerian BUMN akan memantapkan orientasi pengembangan kepada BUMN-BUMN yang memiliki potensi bisnis mau-pun pelayanan, dalam besaran dan struktur organisasi yang sesuai.
Untuk mencapai besaran dan struktur yang sesuai, rightsizing policy akan diwujud-kan dalam kategorisasi BUMN dalam 5 (lima) bentuk atau jenis tindakan, yaitu;
(1) Stand Alone
BUMN yang masuk dalam kategori ini adalah BUMN yang memiliki kriteria beri-kut ini;
BUMN yang masuk dalam kategori ini adalah BUMN yang memiliki kriteria beri-kut ini;
Divestasi merupakan tindakan pemegang saham (shareholder’s action), yang se-lalu mempertimbangkan unsur cost & benefit, sebagaimana pemegang saham pada persero yang lain. Namun, karena tindakan divestasi ini dikaitkan dengan kepemilikan Badan Usaha Milik Negara, maka Divestasi hanya dapat dilakukan pada BUMN yang memiliki kriteria berikut ini;
Demikian pula sebaliknya, bagaimana perlakuan terhadap BUMN yang usa-hanya sudah sunset (yang potensi perkembangan usahanya sudah turun) bila-mana Pemerintah akan bertindak sebagai regulator?. Seperti misalnya pada kegiatan BUMN di bidang usaha penerbitan dan perdagangan buku, termasuk pula usaha pergedungan dan pertokoan, dimana sektor swasta lebih maju dan lebih efisien mengelolanya, apakah negara masih layak untuk memiliki dan mengelola BUMN tersebut?
(4) Merjer dan Konsolidasi
Dalam rangka penguatan sinergi antar-BUMN, tindakan merjer dan konsolidasi menjadi pertimbangan, apabila memenuhi kriteria berikut ini;
Tindakan pemegang saham untuk melakukan likuidasi, tentunya setelah me-menuhi pertimbangan dan kajian tentang cost & benefit dari usaha tersebut, meliputi;
VI. KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI
Selain itu, dengan telah ditetapkannya UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dalam pasal 4 (1) dan penjelasannya telah ditegaskan bahwa modal BUMN yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan adalah pemisahan kekayaan Ne-gara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada BUMN, untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN namun didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Lebih lan-jut terdapat pengaturan dalam PP No. 33 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa penyelesaian piutang BUMN diselesaikan dengan mekanisme korporasi yang di-dasarkan pada pengertian piutang Negara dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dimana dalam UU tersebut tidak lagi dimasukkan pen-gertian piutang BUMN sebagai bagian dari piutang Negara.
Dari hal diatas, pengertian sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan (3) diatas, belum memiliki definisi yang seragam tentang arti “dikuasai” dan “cabang-cabang produksi penting” seperti apa. Kemudian terhadap pemahaman tentang kekayaan Negara yang dipisahkan, perlu mendapatkan pemahaman se-cara meluas bahwa modal yang telah dipisahkan untuk pendirian suatu BUMN bu-kan lagi kategori kekayaan Negara.
Kemudian, dalam rangka pengembangan usahanya perlu adanya pemikiran men-genai kebijakan tentang dividen perlu lebih mempertimbangkan kepentingan- kepentingan perusahaan dalam rangka investasinya, karena apabila kebijakan divi-den selalu untuk kepentingan APBN semata tentunya akan mengurangi kemampuan perusahaan dalam rangka pengembangan dan kelangsungan usahanya (sustain-ability).
Demikian pula, gaya manajemen BUMN yang ada perlu dilakukan perubahan para-digmanya (mind set), bahwa paradigma baru menghendaki adanya suatu inovasi dan terobosan bisnis yang harus dilakukan tanpa harus menciptakan birokrasi yang berbelit, namun harus tetap mengutamakan prinsip governance. Untuk mendukung perubahan paradigma baru tersebut dalam pengadaan manajemen BUMN yang dit-erapkan saat ini sudah menggunakan metode fit & proper test yang melibatkan pula pihak independent assessor, yang dalam pelaksanannya diikat dengan Statement of Corporate Intent (SCI) sebagai acuan komitmen manajemen dalam peningkatan kinerjanya, yang akan diukur dalam kinerjanya dengan Key Performance Indicator (KPI) yang disepakati bersama dan dituangkan dalam suatu Kontrak Manajemen.
VII. KESIMPULAN
BUMN memiliki peran penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun agar peran tersebut bisa lebih maksimal, BUMN harus memebuhi syarat-syarat berikut;
Demikian kami sampaikan, mari kita berjuang dalam kapasitas kita masing-masing, untuk Indonesia yang lebih baik.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pada awalnya BUMN adalah hasil nasionalisasi ex-perusahaan-perusahaan asing (Belanda) yang kemudian ditetapkan sebagai perusahaan Negara. Kemudian de-gan UU No. 1 Prp 1969 dibentuklah pembagian 3 jenis bentuk Badan Usaha Milik Negara menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Persero. Pembagian ini dibentuk sesuai dengan tugas, fungsi dan misi Usaha pada waktu itu.
Filosofi mengapa dibentuk Badan Usaha Milik Negara adalah karena berdasarkan pada bunyi ketentuan UU Pasal 33 khususnya ayat (2) dan (3) yang mengandung maksud bahwa; cabang-cabang produksi penting bagi Negara yang menguasai ha-jat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Kemudian bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan demkian tugas pertama Negara dengan membentuk badan usaha adalah untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat, manakala sektor-sektor tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta. Kemudian tugas-tugas seperti itu diterje-mahkan sebagai bentuk “pioneering” usaha oleh Negara yang membuat BUMN menjadi agen pembangunan/agent of development.
Pemahaman BUMN sebagai agent of development berlanjut sampai dengan peri-ode tahun 80an, yang kemudian pemahaman tersebut membawa dampak “negatif/minir” karena fungsi kontrol terhadap BUMN dianggap sangat lemah, BUMN sebagai sarang korupsi dan lain-lain.
Pada periode akhir 80an, tepatnya 1989, manajemen BUMN dibenahi sekaligus di-luruskan kembali fokus usahanya serta ditata kembali pola reportingnya, yaitu den-gan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan No. 741/1989 yang mewajibkan manajemen BUMN membuat laporan kerja dan laporan keuangannya sekaligus mempublikasikannya. Hal ini sebenarnya merupakan cerminan dari pemberlakuan program-program Good Corporate Governance, antara lain dengan mempublikasi-kan laporan keuangan berarti telah terjadi pembelajaran dan pendisiplinan BUMN terhadap pelaksanaan prinsip GCG (keterbukaan) sekaligus pembelajaran penera-pan protokol Pasar Modal (capital market protocol) mulai pada waktu itu. Dengan penerapan prinsip-prinsip GCG, sekaligus terkandung maksud untuk dapat memisahkan fungsi kepemilikan dan fungsi sebagai regulator. Hal ini bila tidak di-pahamkan tentang pemisahan fungsi dimaksud akan membawa akibat adanya intervensi-intervensi yang dimulai dari pemilik kemudian akan diikuti oleh pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan.
II. SEKTOR USAHA BUMN
Pada dasarnya sektor-sektor usaha yang dilakukan oleh BUMN mencakup hampir seluruh sektor dan bidang usaha yang ada dimana didalamnya terdapat 11 kelom-pok besar sektor, yaitu;
- Agro Industri;
- Telekomunikasi;
- Semen, konstruksi dan Konsultan Engineering;
- Pertambangan;
- Energi;
- Logistik;
- Pariwisata;
- Kehutanan dan Kertas;
- Jasa Keuangan;
- Industri Startegis;
- Jasa Penunjang Pertanian
Luasnya sektor dan bidang usaha yang dilakukan oleh BUMN mengesankan bahwa semua sektor usaha menjadi monopoli badan usaha Negara. Dari kajian yang kami lakukan, sebaiknya Pemerintah bertahan pada pengelolaan dibidang yang me-menuhi kriteria dibawah ini
- Amanat pendiriannya oleh Peraturan Perundangan
- Mengemban tugas Public Service Obligation
- Terkait dengan Keamanan Negara
- Melakukan konservasi alam/budaya
- Berbasis sumber daya alam
- Padat karya
- Penting bagi stabilitas ekonomi/keuangan Negara
Bila demikian halnya perlu dicarikan solusi terhadap sektor/bidang usaha apa saja yang tepat dikelola/dilakukan oleh BUMN yang juiga mengacu pada ketentuan pasal 33 UU 1945 dimaksud dalam kriteria kriteria diatas.
III. KINERJA BUMN
Saat ini BUMN berjumlah 139 yang dalam pelaksanaan tugasnya masih memerlu-kan beberapa perbaikan-perbaikan sistem manajemennya untuk mengangkat kiner-janya. Perangkat perbaikan tersebut termasuk untuk menciptakan kontrol sistem, oleh karenanya sejak tahun 2002 diwajibkan bagi seluruh BUMN untuk menerap-kan program GCG yang kemudian diikuti dengan penerapan program-program lain yang dapat menunjang kinerjanya seperti penerapan program Risk Management yang gencar diwajibkan sejak awal 2006 ini, selain beberapa BUMN yang bergerak di bidang industri-industri penting seperti Telkom, PLN, Perbankan dan Industri-industri berbasis teknologi tingggi telah lebih dulu menerapkan program Risk Man-agement ini. dengan melaksanakan program-program tersebut perangkat-perangkat korporasi lainnya yang juga perlu ditingkatkan adalah kualitas manaje-men/sumber daya manusia agar lebih mempunyai visi pada orientasi bisnis dan berani mengambil keputusan-keputusan bisnis, sehingga paradigma BUMN secara simultan dapat diubah, termasuk mindset manajemen, karyawan dan sistem teknologinya juga (perlahan) harus dilakukan perombakan.
Hingga saat ini dengan upaya-upaya yang telah dilakukan nyatanya membawa peruba-han, lebih nampak pada indikasi meningkatnya jumlah BUMN yang bertambah sehat dan berkurangnya BUMN rugi.
Selain perusahaan-perusahaan yang dapat menunjukan peningkatan kinerja dari sisi perolehan laba, tentunya dapat dibuktikan dari sisi Negara yang memperoleh Dividen selaku pemegang saham, dan pajak, tidak tertutup pula sumbangan retribusi daerah.
Kemudian dari sisi pasar modal, dapat dikatakan bahwa BUMN adalah salah satu indikator tentang dinamisnya perdagangan saham dan obligasi di bursa efek, dimana 12 BUMN yang listed saham di bursa (12 BUMN) mencapai 36.8% pada tahun 2004, dan 34.2% pada tahun 2006 dari nilai transaksi perdagangan di bursa, dengan total kapitalisasi pasar BUMN sejak 2001 s/d 2006 mencapai ± Rp.273 Trilliun. Belum lagi bila dihitung dengan atraktifnya perdagangan obligasi yang di-issued oleh BUMN.
IV. KEBIJAKAN YANG AKAN DITEMPUH
Namun patut kita cermati, bahwa kinerja yang tergambar tersebut tidak tersebar se-cara merata di semua BUMN. Jika kita urutkan BUMN berdasarkan angka har-ta/aset, ekuitas, penjualan, dan laba bersih, kemudian kita pilih BUMN yang memiliki setidaknya 3 figur yang termasuk 25 terbesar pada kategorinya, maka akan kita da-patkan 22 BUMN yang memenuhi kategori ini dan bisa kita katakan sebagai BUMN terbesar, dimana 8 diantaranya adalah BUMN Tbk. Bila dibandingkan dengan jum-lah agregat seluruh BUMN, maka 22 BUMN ini memiliki 92.21% aset, 92.64% ekui-tas, 87.16% penjualan dan 91.78% laba bersih, atau dengan kata lain dari 139 BUMN yang kita miliki, 117 BUMN diantaranya hanya memiliki proporsi kurang dari 10% terhadap keseluruhan BUMN. Hal ini mengimplikasikan adanya kinerja yang ti-dak optimal pada sebagian besar BUMN dan urgensi pertimbangan mengenai jum-lah dan besaran BUMN yang ideal (rightsizing policy).
Kebijakan rightsizing BUMN akan ditempuh dengan melakukan merjer/konsolidasi, holding, maupun privatisasi sehingga pada tahun 2009 jumlah BUMN diharapkan akan menjadi 89 dan selanjutnya menjadi 25 pada tahun 2020, yang diharapkan merupakan ukuran yang ideal sehingga kita mampu memiliki BUMN dengan daya saing tinggi dan merupakan pemain utama di pasar internasional.
Kebijakan rightsizing ini merupakan bagian dari upaya profitisasi BUMN yang mengacu pada pemetaan BUMN dengan membagi BUMN menjadi 2 kelompok yaitu BUMN yang menjalankan fungsi public service obligation (PSO) dan BUMN komer-sial. Pengelompokan tersebut sangat penting agar masing-masing BUMN tersebut benar-benar memperoleh penanganan yang tepat.
Tidak kalah pentingnya adalah Revitalisasi BUMN melalui restrukturisasi sektoral dengan memperhatikan peraturan/perundangan yang ada dan restrukturisasi peru-sahaan melalui penerapan key performance indicator (KPI) dan GCG secara konsis-ten. Melalui restrukturisasi sektoral tersebut, diharapkan setiap kebijakan yang di-ambil oleh Kementerian Negara BUMN akan sejalan dengan kebijakan dari depar-temen teknis. Di samping itu, melalui penerapan KPI dan GCG secara konsisten, di-harapkan akan tercapai BUMN yang terfokus, memiliki core competence, well per-formed dan well managed serta menjadi champion di bidangnya.
Bahwa keberadaan BUMN memberikan pula efek mutiplier selain sebagai dinamisa-tor pasar mengingat tugas dan fungsi BUMN selain berorientasi kpd laba dan laya-nan umum, juga menjadi katalisator terhadap pertumbuhan ekonomi di level me-nengah kecil. yaitu dapat dibuktikan dengan kepesertaan BUMN terhadap pembina-an dan pemberian pendampingan bimbingan/bantuan teknis kepada UKM-UKM yang merupakan mitra binaannya. Efek multiplier tersebut tentunya akan berdampak pada pertumbuhan industri/ekonomi, selain penyiapan lapangan pekerjaan bagi ma-syarakat. sebagaimana diketahui 139 BUMN memiliki total nilai aset sebesar RP. 1300 Triliun, ternyata dalam pelaksanaannya masih dirasakan adanya kekurangan-kekurangan, antara lain apabila dillihat dari sisi efisiensi tenaga kerja yang ada. Pada dasarnya jumlah tenaga kerja yang ada pada BUMN-BUMN bisa dikatagori-kan overstaffing. Namun bila kita memperhatikan amanah dari UUD 1945, tersirat bahwa Negara perlu menyediakan cukup lapangan pekerjaan bagi warganya, oleh karenanya BUMN-BUMN sebagai suatu badan usaha yang dimiliki Negara sekaligus sebagai alat produksi tentunya harus mempertimbangkan tentang penampungan te-naga kerja. Sehingga efisiensi tenaga kerja di BUMN ada anggapan tidak/bukan menjadi sorotan utama dikaitkan dengan performa kinerja perusahaan.
V. MODEL UNTUK MENUNJANG PERTUMBUHAN EKONOMI
Untuk mewujudkan amanah Undang-undang No. 19 tahun 2003 mengenai Badan Usaha Milik Negara pasal 2 ayat (1) butir (a) tentang salah satu maksud dan tujuan pendirian BUMN yaitu “memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya” maka Kemente-rian BUMN telah menyusun strategi penataan BUMN kedepan yang berada dalam kerangka rightsizing policy yang tadi telah kami jelaskan. Untuk meningkatkan kon-tribusi BUMN dalam pertumbuhan ekonomi Kementerian BUMN akan memantapkan orientasi pengembangan kepada BUMN-BUMN yang memiliki potensi bisnis mau-pun pelayanan, dalam besaran dan struktur organisasi yang sesuai.
Untuk mencapai besaran dan struktur yang sesuai, rightsizing policy akan diwujud-kan dalam kategorisasi BUMN dalam 5 (lima) bentuk atau jenis tindakan, yaitu;
(1) Stand Alone
BUMN yang masuk dalam kategori ini adalah BUMN yang memiliki kriteria beri-kut ini;
- Market share cukup signifikan dan mengandung unsur keamanan;
- Single player atau masuk sebagai pemain utama;
- Belum memiliki potensi untuk dimerger ataupun holding; dan
- Keberadaannya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku & umumnya captive market.
BUMN yang masuk dalam kategori ini adalah BUMN yang memiliki kriteria beri-kut ini;
- Sektor usahanya sama
- Jenis usaha dan segmen pasar berlainan
- Kompetisi tinggi
- Masih ada prospek/ bisnis prospektif
- Pemerintah merupakan pemilik mayoritas
Divestasi merupakan tindakan pemegang saham (shareholder’s action), yang se-lalu mempertimbangkan unsur cost & benefit, sebagaimana pemegang saham pada persero yang lain. Namun, karena tindakan divestasi ini dikaitkan dengan kepemilikan Badan Usaha Milik Negara, maka Divestasi hanya dapat dilakukan pada BUMN yang memiliki kriteria berikut ini;
- Berbentuk Persero.
- Berada pada sektor usaha atau industri yang kompetitif atau unsur teknologinya cepat berubah.
- Bidang usahanya menurut undang-undang tidak secara khusus harus dikelola oleh BUMN.
- Tidak bergerak di sektor pertahanan dan keamanan.
- Tidak mengelola sumber daya alam yang menurut ketentuan perundang-undangan tidak boleh diprivatisasi.
- Tidak bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
- Memenuhi ketentuan/peraturan pasar modal apabila privatisasi dilakukan melalui pasar modal.
Demikian pula sebaliknya, bagaimana perlakuan terhadap BUMN yang usa-hanya sudah sunset (yang potensi perkembangan usahanya sudah turun) bila-mana Pemerintah akan bertindak sebagai regulator?. Seperti misalnya pada kegiatan BUMN di bidang usaha penerbitan dan perdagangan buku, termasuk pula usaha pergedungan dan pertokoan, dimana sektor swasta lebih maju dan lebih efisien mengelolanya, apakah negara masih layak untuk memiliki dan mengelola BUMN tersebut?
(4) Merjer dan Konsolidasi
Dalam rangka penguatan sinergi antar-BUMN, tindakan merjer dan konsolidasi menjadi pertimbangan, apabila memenuhi kriteria berikut ini;
- Jenis usaha dan segmen pasar sama
- Kompetisi tinggi
- Mayoritas saham dimiliki Pemerintah
- Kinerja tergolong kurang baik
- Going concern diragukan, namun masih memiliki potensi untuk digabung dengan BUMN lain.
Tindakan pemegang saham untuk melakukan likuidasi, tentunya setelah me-menuhi pertimbangan dan kajian tentang cost & benefit dari usaha tersebut, meliputi;
- Tidak ada PSO – non “Strategis” (tidak harus dipertahankan status BUMN)
- Dalam beberapa tahun mengalami kerugian terus-menerus
- Kompetisi usaha tinggi
- Eksternalitas rendah
- Usahanya tidak prospektif
- Ekuitas negatif
VI. KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI
- Dari sisi hukum;
Selain itu, dengan telah ditetapkannya UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dalam pasal 4 (1) dan penjelasannya telah ditegaskan bahwa modal BUMN yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan adalah pemisahan kekayaan Ne-gara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada BUMN, untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN namun didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Lebih lan-jut terdapat pengaturan dalam PP No. 33 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa penyelesaian piutang BUMN diselesaikan dengan mekanisme korporasi yang di-dasarkan pada pengertian piutang Negara dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dimana dalam UU tersebut tidak lagi dimasukkan pen-gertian piutang BUMN sebagai bagian dari piutang Negara.
Dari hal diatas, pengertian sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (2) dan (3) diatas, belum memiliki definisi yang seragam tentang arti “dikuasai” dan “cabang-cabang produksi penting” seperti apa. Kemudian terhadap pemahaman tentang kekayaan Negara yang dipisahkan, perlu mendapatkan pemahaman se-cara meluas bahwa modal yang telah dipisahkan untuk pendirian suatu BUMN bu-kan lagi kategori kekayaan Negara.
- Dari sisi perusahaan;
Kemudian, dalam rangka pengembangan usahanya perlu adanya pemikiran men-genai kebijakan tentang dividen perlu lebih mempertimbangkan kepentingan- kepentingan perusahaan dalam rangka investasinya, karena apabila kebijakan divi-den selalu untuk kepentingan APBN semata tentunya akan mengurangi kemampuan perusahaan dalam rangka pengembangan dan kelangsungan usahanya (sustain-ability).
Demikian pula, gaya manajemen BUMN yang ada perlu dilakukan perubahan para-digmanya (mind set), bahwa paradigma baru menghendaki adanya suatu inovasi dan terobosan bisnis yang harus dilakukan tanpa harus menciptakan birokrasi yang berbelit, namun harus tetap mengutamakan prinsip governance. Untuk mendukung perubahan paradigma baru tersebut dalam pengadaan manajemen BUMN yang dit-erapkan saat ini sudah menggunakan metode fit & proper test yang melibatkan pula pihak independent assessor, yang dalam pelaksanannya diikat dengan Statement of Corporate Intent (SCI) sebagai acuan komitmen manajemen dalam peningkatan kinerjanya, yang akan diukur dalam kinerjanya dengan Key Performance Indicator (KPI) yang disepakati bersama dan dituangkan dalam suatu Kontrak Manajemen.
VII. KESIMPULAN
BUMN memiliki peran penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun agar peran tersebut bisa lebih maksimal, BUMN harus memebuhi syarat-syarat berikut;
- Dikelola berdasarkan prinsip dan kultur korporasi yang sehat;
- Dikelola oleh manajemen profesional, integritas dan leadership yang kuat, serta memiliki sense of business yang tinggi. Untuk itu pola rekrutmen dan pola re- munerasi harus dikembangkan sesuai dengan standar korporasi;
- Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG), secara konsis-ten dan berkesinambungan;
- Mampu terus menciptakan nilai tambah dan inovasi;
- Siap bersaing di era kompetisi global, dan memiliki kemampuan untuk survive dalam segala kondisi;
- Memiliki tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility), baik dalam hal kepedulian terhadap lingkungan hid up, pengentasan problem masyarakat sekitar, dan pengembangan pengusaha kecil.
Demikian kami sampaikan, mari kita berjuang dalam kapasitas kita masing-masing, untuk Indonesia yang lebih baik.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar