Selasa, 22 Mei 2012

karya ilmiah

karya ilmiah









PARTISIPASI ETNIS TIONGHOA DALAM KANCAH PERPOLITIKAN KALIMANTAN BARAT SEBAGAI WUJUD KEDEWASAAN BERDEMOKRASI



Dalam Rangka Lomba Karya Tulis Mahasiswa Tahun 2009
Diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional


Oleh :
Rahmat Kalis Setiadi E 01107 119





UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2009


BAB1
PENDAHULUAN



1.1 LATAR BELAKANG

Etnis Tionghoa merupakan masyarakat pendatang yang diperkirakan datang ke Indonesia secara besar-besaran pada abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19 yang berasal dari suku-bangsa Hokkien. Mereka berasal dari provinsi Fukien bagian selatan. Daerah itu merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang cina ke seberang lautan. Imigran Cina yang menetap di Indonesia semakin lama populasinya semakin bertambah dan menyebar hampir diseluruh provinsi di Indonesia. Sehingga tidak dapat dipungkiri, bahwasanya etnis Tionghoa merupakan bagian dari masyarakat Indonesia.
Orde baru yang lengser pada Mei 1998, membawa angin segar bagi etnis Tionghoa, karena pada masa orde baru masyarakat etnis Tionghoa yang selalu dikaitkan dengan G. 30/S PKI. Bukan hanya itu, tindakan rezim Orde Baru yang melarang penggunaan bahasa dan aksara Tionghoa serta larangan merayakan ritual agama, budaya dan tradisi Tionghoa serta penggantian istilah Tionghoa dengan pejoratif Cina. sehingga menimbulkan rasa takut dan enggan sebagian besar etnis Tionghoa untuk memasuki wilayah politik dan bentuk partisipasi etnis Tionghoa pada saat itu hanya memiliki hak memilih dan tidak berhak untuk dipilih. Pada tanggal 16 september 1998 presiden Bj Habibie mengeluarkan inpres No.26/1998 yang isinya menghapus istilah masyarakat pribumi dan masyarakat non pribumi.
Era reformasi membawa perubahan demokratisasi yang begitu cepat pada perpolitikan di tanah air. hal ini dapat dilihat pada masyarakat etnis Tionghoa, Pada masa rezim pak soeharto etnis Tionghoa hanya memiliki hak memilih dan tidak berhak untuk memilih, dan pada saat ini mereka mempunyai hak dipilih dan hak untuk memilih. Pemilu memberikan kesempatan terbuka bagi etnis tionghoa untuk berperan aktif didalam perpolitikan tanah air.
Melihat kembali rekam jejak partisipasi etnis Tionghoa pada dua pemilu yang lalu setelah era reformasi, terlihat bahwa pada Pemilu tahun 1999 dan 2004 komunitas Tionghoa masih tampak malu-malu dan canggung dalam partisipasi politik. Persepsi mayoritas elite politik Indonesia pun masih berkutat di stigma bahwa orang Tionghoa adalah ‘binatang ekonomi’ dan ‘apolitis’. Sehingga tidak heran kursi legislative dan eksekutive yang masih sangat sedikit diisi oleh etnis tionghoa, yaitu yang duduk di kursi DPR, DPRD, maupun MPR. terdapat nama-nama seperti Kwik Kian Gie (kemudian menjadi menteri), Ir. Tjiandra Wijaya Wong dari PDIP, Alvin Lie Ling Piao dari PAN, Ir. Engartiato Lukita dari Golkar dan LT Susanto dari Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia. Di MPR ada Hartati Murdaya Poo dari Walubi yang mewakili utusan golongan dan Daniel Budi Setiawan yang merupakan Wakil Utusan Daerah Jawa Tengah..
Di Kalimantan Barat, partisipasi etnis Tionghoa didalam kancah politik didaerah ini semakin menunjukan angka yang terus meningkat dari 2 kali pemilu. sebagai bukti bahwasanya pada pemilu tahun 1990 partai Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia (PBI) mendapat satu kursi di parlemen hanya dari Kalimantan Barat. Dan pada saat ini perwakilan dari etnis Tionghoa juga telah menduduki kursi penting di pemerintahan kalimantan barat, dengan terpilihnya Cristiandy Sanjaya sebagai wakil gubernur dan hasan karman sebagai walikota kota Singkawang. Telah terpilihnya wajah-wajah baru dari kalangan yang selama ini dianggap tidak mampu berpolitik praktis. Drs. Christiandy Sanjaya dan Hasan Karman, keduanya merupakan pemain politik dari kalangan Tionghoa yang akan mempunyai peranan penting dalam kemajuan Kalbar. Sebelum mereka, sudah ada beberapa nama yang mendahului mereka terjun dalam perpolitikan Kalbar, seperti Michael Yan Sri Widodo, Andreas Acui Simanjaya, Hartono Azas, Yansen Akun Effendi dan beberapa nama lagi. Dengan posisi yang dimiliki saat ini sebagai legislatif.
Sensus menunjukkan bahwa di 11 propinsi Indonesia, jumlah warga etnis Tionghoa cukup signifikan untuk diperhitungkan sebagai bagian dari masyarakat setempat. Dinyatakan bahwa 26,45% dari jumlah seluruh warga etnis Tionghoa di Indonesia, tinggal di Jakarta yaitu 460.002 orang (5.53% dari seluruh penduduk Jakarta). Begitu juga di Kalimantan Barat, ada 20,30% dari seluruh warga Tionghoa Indonesia (9.46 % dari seluruh penduduk Kalimantan Barat, nomor 3 terbesar setelah etnis Sambas, dan lainnya). Sedangkan untuk dikota Singkawang terdapat 42 % etnis Tionghoa dari jumlah penduduk kota Singkawang, sehingga tidak heran apabila mereka membulatkan suara dalam pemilihan, maka terpilihlah Hasan Karman sebagai walikota Singkawang yang merupakan etnis Tionghoa.
Hal diatas menandakan bahwasannya demokrasi di Kalimantan Barat telah menuju kepada demokrasi yang sebenarnya, walupun pandangan terhadap pengaruh etnis yang masih kental didalam perpolitikan di bumi khatulistiwa ini. Primordialisme terhadap kelompok atau golongan yang begitu besar terhadap calon yang berasal dari golongan masyarakat atau kelompok dalam memperoleh suara merupakan prilaku yang sering terjadi.
Pemilu pada pemilihan gubernur tahun 2007 yang lalu menandakan bahwasanya masyarakat Kalimantan Barat telah dapat hidup rukun dengan saling menghargai dan menerima hasil pemilihn dengan lapang dada. hal ini sangat jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya, dimana terjadi konflik antara kandidat kepala daerah setelah penghitungan suara dilakukan oleh komisi pemilihan umum. Kalau kita melihat beberapa tahun yang lalu di Kalimantan Barat beberapa kali terjadi konflik antar etnis, seperti di Sambas. Ini artinya harmonisasi antar etnis di daerah ini sudah mulai baik, dan ini akan berdampak kepada pembangunan di daerah ini.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis pun merumuskan beberapa permasalahan dalam penulisan karya tulis ini:
1. Bagaimana kehidupan masyarakat etnis Tionghoa pada masa orde baru?
2. Bagaimana bentuk partisipasi etnis Tionghoa di kancah politik Kalimantan Barat?
3. Bagaimana mewujudkan harmonisasi dalam pembangunan di Kalimantan Barat, yang didalamnya terdapat multi etnis?

1.3 Tujuan penulisan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk mendeskripsikan seberapa besara partisipasi masyarakat etnis Tionghoa Kalimantan Barat terhadap perpolitikan di daerah ini yaitu dengan mencalonkan diri sebagai eksekutif atau legislatif yang bersaing dengan masyarakat asli daerah ini ( pribumi ). Padahal kalau kita lihat pada masa orde baru dahulu masyarakat etnis Tionghoa hanya di identikkan dengan pelaku ekonomi dalam menjaga kesetabilan perekonomian bangsa.

1.4 Manfaat Penulisan

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai partisipasi masyarakat etnis Tionghoa di Kaimantan Barat, sebagai wujud dalam menuju masyarakat yang dewasa dalam berdemokrasi. Sehingga, kita dapat mengetahui sejauh mana kedewasaan masyarakat Kalimantan Barat dalam berdemokrasi, apakah pengaruh primordialisme yang melekat pada masyarakat atau masyarakat di daerah ini memang sudah benar-benar mengetahui wujud dari demokrasi yang sebenarnya.





















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA



2.1 . PERSPEKSTIF DEMOKRASI

Demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan oleh rakyat. Jalan konkrit untuk mengorganisasikan bentuk pemerintahan ini dan pertanyaan mengenai kondisi dan prakondisi yang dibutuhkan telah diperdebatkan secara intensif selama beberapa abad. Secara literal, demokrasi berarti kukuasaan oleh rakyat, berasal dari bahasa yunani Demos ( rakyat ) dan Kratos ( pemerintah ). Secara historis, istilah demokrasi telah dikenal sejak sejak abad ke-5 SM ( Abdillah, 1999: 71; Sorensen,Georg, 2003:2).
Landasan negara demokratis menurut Aristoteles ( dalam Ravitch, Diane dan Thernstrom, 2005: 3 ) adalah kebebasan yang menurut pendapat orang pada umumnya, hanya dapat dinikmati dalam negara semacam itu. hal ini diakui sebagai tujuan utama demokrasi. salah satu perinsip kebebasan ialah setiap orang secara bergantian wajib memerintah dan diperintah, dan memang keadilan demokrasi merupakan penerapan persamaan jumlah dan bukan proporsi; dari situ, disimpulkan bahwa mayoritas harus memiliki kekuasaan tertinggi, dan apa pun yang disetujui oleh mayoritas harus menjadi tujuan dan adil.
Perspektif demokrasi, ( Abdillah, 1999: 74 ) menegaskan bahwa: Sekarang ini istilah demokrasi bagi banyak orang dianggap sebagai kata yang mengimplikasikan nilai-nilai, perjuangan untuk kebebasan dan jalan hidup yang lebih baik. Demokrasi bukan hanya merupakan metode kekuasaan mayoritas melalui partisipasi rakyat dan kompetisi yang bebas, tetapi juga mengandung nilai-nilai universal, khususnya nilai-nilai persamaan, kebebasan dan pluralisme walaupun konsep-konsep operasionalnya bervariasi menurut kondisi budaya negara tertentu. Dahl, 1997: 34 ( dalam www.ginandjar.com ) memperkuat gagasan bahwa konsolidasi demokrasi menuntut budaya demokrasi yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk menerapkan prosedur-prosedur demokrasi.
Robert A. Dahl (dalam Abdillah, 1999:72) menunjukan tujuh kriteria yang harus ada dalam sistem demokratis;
1. Kontrol atas keputusan pemeintah mengenai kebijakan secara konstitusional diberikan pada pejabat yang dipilih.
2. Para pejabat dipilih melalui pemilihan yang teliti dan jujur dimana paksaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak umum.
3. Secara peraktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk memilih dalam pemilihan pejabat.
4. Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan diri pada jabatan-jabatan di pemerintahan, walaupun batasan umur untuk menduduki jabatan mungkin lebih ketat ketimbang hak pilihnya.
5. Rakyat mempunyai hak untuk menyuarakan pendapan tanpa ancaman hukuman yang berat mengenai berbagai persoalan politik yang didefinisikan secara luas, termasuk mengkritik para pejabat, pemerintah, rezim tatanan sosio-ekonomi dan ideologi yang berlaku.
6. Rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif. lebih dari itu, umber-sumber informasi alternatif yang ada dan dilindungi oleh hukum.
7. Untuk meningkatkan hak-hak mereka, termasuk hak-hak yang dinyatakan di atas, rakyat juga mempunyai hak untuk membentuk lembaga-lembaga atau organisasi yang relatif independen, btermasuk berbagai partai politik dan kelompok kepentingan independen.

Dalam sistem politik demokrasi selalu ada pembagian kekuasaan, dimana kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif berada pada badan yang berbeda (Sukarna,1990: 3). Di Indonesia terdapat tiga konsep demokrasi yang pernah digunakan didalam sistem pemerintahan, yaitu:


2.1.1 Demokrasi Liberal ( 1950-1959 )

Sistem demokrasi liberal sangat menekankan kebabasan/ kemardekaan individu sesuai dengan arti liberalisme itu sendiri yang berasal dari kata libre yang berarti bebas daripada perbudakan, perkosaan, dan penganiayaan.(Sukarna, 1990 : 10). Sehingga politik liberalisme sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia yang utama, yaitu hak untuk hidup.
Sistem politik liberalisme menentang ajaran komunis mengingat ajaran komunis sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem kediktatoran sehingga hak asasi manusia banyak dirampas dan diperkosa. Di dalam ajaran itulah adanya eksploitasi manusia terhadap manusia dan eksploitasi bangsa terhadap bangsa.
Sorensen, Georg, (1993:4) menyatakan liberalisme dalam dua hal. pertama, kaum liberal berjuang untuk menurunkan kekuasaan negara dan menciptakan kekuasaan negara dan menciptakan masyarakat sipil dimana hubunga-hubungan sosial, termasuk urusan pribadi, secara gradual liberalisme dihubungkan dengan doktrin yang menyatakan kebebasan individu. hal kedua, kekuasaan negara didasarkan pada kehendak masyarakat yang berdaulat. Sistem demokrasi liberal ini pada dasarnya merupakan warisan dari kolonial Belanda, dengan menggunakan Undang-undang sementara.

2.1.2 Demokrasi Terpimpin ( 1959-1965 )

demokrsi terpimpin merupakan sistem yng digunkn pada masa pemerintahn Soekarno dimulai dari tahun 1959-1965. adapun ciri-ciri dari pemerintahan demokrasi terpimnpin menurut Sukarna, 1990:100 ialah:
1. GBHN adalah pengesahan pidato presiden Soekarno pada tanggal 17-8-1959 sebagai pertanggungjawaban dekrit presiden 5 juli 1959 tentang pembubaran konstituante dan kembali ke UUD’45. di dalam GBHN tersebut dikenal dengan manipol usdek ( Manifesti Politik UUD’45 Sosialisme Indonesia., Demokrasi terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan kepribadian Indonesia berdasarka kepada konsep Nasakom).
2. Kekuasaan legislatif yang seharusnya dipegang oleh MPR dan kekuasaan yudikatif yang seharusnya dijalankan oleh MA, semuanya disentralisasikan ke tangan presiden. jadi, presiden adalah sebagai pembuat UU, pelaksana UU, dan mengadili terhadap pelanggar UU.
3. Seluruh anggota MPRS. DPRS semuanya diangkat oleh presiden tanpa melalui pemilu. oleh karena itu, tidak aneh apabila Bung Karno dipilih sebagai presiden seumur hidup yang mensentralisasi kekuasaan pada tangannya.
4 Pada waktu berlaku sistem demokrasi terpimpin yaitu sejak dekrit presiden 5 juli 1959. Sampai 11 maret 1966, tidk ada pemilu , baik pemilu sistem distrik maupun sistem proposional sehingga rakyat tidak dapat mengeluarkan aspirasi-aspirasinya di bidang poleksosbud melalui wakil-wakilnya. dengan demikian hak-hak rakyat di bidang poleksosbud seolah-olah telah pindah ke tangan Soekarno sebagai penyambung lidah rakyat.
5. Sistem demokrasi terpimpin didalamnya berlaku rule of power alias sistem kediktatoran, dimana terdapat supremacy of power (kekuasan yang ada pada tangan kekuasaaan Sokarno sendiri ), inequality before the law ( tidak ada persamaan di muka hukum ), dan non protection of human right ( tidak ada perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia).



2.2.3 Demokrasi pancasila ( 1966 hingga sekarang )

Secara etimologi pancasila ialah panca ( lima ) sila ( dasar ) jadi menurut isatilah, pancasila berarti lima dasar. sedangkan menurut trimonologi, pancasila berarti larangan membunuh, mencuri, berzinah, minuman keras, dan berdusta. ( kumpulan soal latihan ujian calon pegawai negeri sipil, tanpa tahun:1 ). Dasar dari demokrasi pancasila adalah kedaulatan rakyat, seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. pelaksanaan dasar ini terdapat dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh majelis permusyawaratan rakyat’.
Didalam sistem demokrasi pancasila terdapat pemilu dengan sitem daftar atau disebut juga lijst stesel. Pembagian kekuasaan menurut UUD 45 dijalankan berdasarkan konstitusi dimana ketua MPR, ketua DPR , dan ketua MA tidak dipimpin oleh menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Pemerintahan yang dilaksanakan pada sistem demokrasi pancasila ini berdasarka konstitusi dan UU yang di tetapkan oleh DPR bersama-sama dengan presiden serta tap-tap MPR lainnya.
Sistem demokrasi pancasila menurut UUD 45 secara konstituonal dapat meumbuhkan demokrasi politik, demokrasi sosial, demokrasi ekonomi, dan budaya. Karena rakyat turut serta secara keseluruhan dalam kehidupan ekonomi dan juga yang mengurusi tentang kehidupan ekonomi negara maka dapat diharapkan bahwa keadaan perekonomian masyarakat dapat berkembang secara merata sesuai dengan pasal 33 UUD 45.
Demokrasi pancasila tidak saja demokrasi dalam bidang politik, yang hanya mengatur tentang masalah politik negara atau hal yang berhubungan dengan pengaturan kenegaraan, tetapi juga mengatur masalah ekonomi, sosial dan kebudayaan. Pengaturan pokok masalah itu terdapat di dalam UUD 1945. Pengaturan tersebut dapat dilihat dalam pasal 31 mengenai pendidikan, pasal 32 mengenai kebudayaan, pasal 33 mengenai perekonomian, pasal 34 mengenai fakir miskin.
Demokrasi pancasila sebagai suatu sistem pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang menentukan bentuk dan isi pemerintahan yang dikehendakinya sesuai dengan hati nuraninya. Dalam hal ini sudah sewajarnya pemerintah harus memfokus-kan perhatiannya kepada kepentingan rakyat banyak dalam rangka tercapainya kemakmuran yang merata.
Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa demokrasi pancasila adalah demokrasi politik, demokrasi ekonomi, sosial dan kebudayaan. Dalam hal ini berarti bahwa dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan, rakyat diikutsertakan dalam keterlibatannya, sehingga masalah itu dirasakan sebagai masalahnya sendiri. Dengan demikian gagasan demokrasi sebagai suatu pengembangan “populisme” (keterlibatan atau ikut campur tangannya rakyat) dan “progresivisme” (mencapai kemajuan) diatur secara konstitusionil. Konstitusionil, yang dalam hal ini UUD 1945, telah meletakkan garis-garis pokok kegiatan tersebut. Secara keseluruhan dapat disimpulkan, bahwa demokrasi pancasila mencakup macam-macam demokrasi. Di samping sebagai demokrasi politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan, juga sebagai demokrasi konstitusionil, sebab demokrasi ini berdasar atas konstitusi, yaitu UUD 1945. UUD itu sendiri merupakan realisasi pancasila sebagai dasar negara.

2.2 ETNOHISTORI TIONGHOA

Orang Cina, diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasty. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya berlahiran di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya, termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Cina di Hindia Belanda (1900) didirikanlah suatu sarana sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan Tjung Hwa Hwei Kwan, yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Cina di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa (di Hindia Belanda).
Kebanyakan orang Indonesia asli telah banyak bergaul dengan orang Tionghoa indonesia; tetapi sebagian besar, belum mengenal golongan penduduk ini sewajarnya.
Orang tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang berasal dari satu daerah saja di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung, yang sangat terpencar didaerah-daerah. Vasanti, Puspa (dalam Koentjaraningrat, 1971: 353 ). para imigran Tionghoa yang terbesar ke Indonesia di mulai pada abad ke-16 SM sampai kira-kira pertengahan abad ke-19, asal dari suku bangsa Hokkien. mereka berasal dari propinsi Fukien bagian selatan. Daerah itu merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang cina ke seberang lautan.
Keahlian berdagang ini yang ada di dalam kebudayaan suku-bangsa Hokkien terendap berabad-abad lamanya dan hal tersebut masih tampak tampak jelas pada etnis Tionghoa di Indonesia. Sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan bahwasanya perekonomian di Indonesia ini dipengaruhi oleh etnis Tionghoa yang paling besar.
Vasanti, puspa (dalam koentjaraningrat, 1971: 353) mengatakan bahwa imigran orang Tionghoa lain adalah orang Teo-Chiu yang berasal dari pantai selatan negeri Cina di daerah pedalaman Swatow di bagian timur propinsi Kwantung. Orang Teo-Chiu dan Hakka ( Khek ) di sukai sebagai kuli perkebunan dan pertambangan. Orang Hakka merantau karena terpaksa atas kebutuhan mata pencaharian hidup, orang Hakka adalah orang yang paling miskin di antara para perantau Tionghoa yang berlangsung selama 1850-1930. Sekarang mereka mndominasi masyarakat Tionghoa di distrik-distrik tambang emas di Kalimntan Barat. Sumatra, Bangka dan Biliton.
Di sebelah barat dan selatan daerah asal orang Hakka di propinsi Kwangtung tinggallah orang Kanton ( Kwang Fu ). Orang Kanton terkenal di Asia Tenggara sebagai kuli pertambangan. Mereka berimigrasi dalam abad ke-19 ke Indonesia, sebagian besar tertarik oleh tambang-tambang timah dipulau bangka. Mereka datang dengan keterampilan teknis dan pertukangan yang tinggi. Di Indonesia, mereka di kenal sebagai ahli pertukangan, pemilik toko-toko besi dan industri kecil. Orang kanton ini jauh lebih tersebar secara mereta di seluruh kepulauan Indonesia,. walau demikian tidak banyak dari mereka tersebar di Jawa Tengah dan Timur, Kalimantan Selatan dan Timur, Bangka dan Sumatra Tengah.
Menurut sensus pada tahun 1930 jumlah rata-rata imigran Tionghoa yang diantara tahun 1900-1902 hanya sebesar 3.464 orang namun, imigran Tionghoa naik sangat banyak sekali yaitu terjadi diantara 1927-1930 mejadi 12.172 orang. Walaupun orang Tionghoa perantau itu, terdiri dari paling sedikit empat suku-bangsa, namun dalam pandangan orang Indonesia pada umumnya mereka hanya terbagi ke dalam dua golongan yaitu :

2.2.1 Peranakan

Orang peranakan yaitu orang Tionghoa yang lahir di Indonesia, hasil perkawinan campuran antara orang Tionghoa dengan orang Indonesia. orang Tionghoa yang pernakan memiluki ciri yaitu menyerupai masyarakat Indonesia, baik itu ciri-ciri fisiknya, dan bahasa yang telah menyerupai masarakat pribumi. Tionghoa pernakan ini banyak terdapat di Kalimantan Barat dan Sumatra

2.2.2 Totok

Orang Tionghoa yang lahir dinegara Tionghoa ialah disebut totok. Pada saat ini banyak sekali orang Tionghoa Kalimantan Barat dan Sumatra Timur itu mungkin sudah banyak yang lahir di Indonesia namun, tetap saja mereka masih disebut orang Tionghoa totok oleh orang Indonesia asli. Orang Tionghoa totok banyak bertambah dengan gelombng imigrasi yang terjadi diantara tahun 1920 sampai kira-kira 1930 di Jawa.

2.3 DEMOKRASI ORDE BARU – ERA REFORMASI
2.3.1 Demokrasi orde baru

Meningkatnya suhu politik menjelang pada akhir tahun 1945 itu, dikaitkan dengan siapa presiden Soekarno kalau yang bersangkutan wafat, karena berbagai penyakit yang diderita pada waktu itu. karena pemilihan umum sejak tahun 1955 tidak pernah dilaksanakan kembali dan wakil presiden secara resmi tidak pernah ada lagi sejak Bung Hatta mengundurkan diri ( walaupun ada perdana mentri ).
Pembunuhan perwira Angkatan Darat ( AD ) di Lubang Buaya terhadap panglima (AD ) pada saat ini mengakibatkan Soeharto mengisi jabatan kosong tersebut. Sebagai panglima, Pak Harto tidak tercantum didalam daftr hitam yang akan dibunuh oleh PKI, bahkan kolonel Latif ( salah satu komandan yang pernah menjadi bawahan Suharto pada perang griliya dan serangan umum ) melaporkan akan melakukan pembunuhan jendral besok pagi, tetapi Pak Harto diam saja ( Syafiie, Inu Kencana dan Azhari, 2005 :44 ).
Demi pengamanan Soekarno akhirnya ia di bawa ke Bogor, dalam keadaan seperti itulah Pak Harto mengkondisikan mengkondisikan menjadi pahlawan dengan meminta surat perintah sebelas maret yang sbenarnya setelah keadaan aman kekuasaan kembali diserahkan kepada panglima tertinggi, Bung Karno.
Presiden Soeharto diangkat menjadi pejabat presiden melalui ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966. maka pada saat itulah dimulainya rezim Soeharto memipin indonesia ini yang berlangsung hingga 1998, dan lengsernyapun dari jabatan presiden melalui demonstrasi secara besar-besaran.
Diskriminasi rasial merupakan politik diskriminasi yang sudah berlangsung sejak lama di Indonesia, bahkan jauh lebih tua dari umur Republik Indonesia. Politik diskriminasi rasial ini berakar dan mulai diterapkan sejak jaman penjajahan Belanda dengan kebijakan segregasi rasialnya, melalui pembedaan hukum keperdataan ‘Indische Staatsregeling’nya sejak tahun 1849, kemudian sangat mempengaruhi praktek-praktek dan politik diskriminasi rasial hingga saat ini. Kemudian antara 1953 sampai dengan 1970 banyak kebijakan negara yang menghasilkan berbagai praktek diskriminatif terhadap berbagai kelompok-kelompok di Indonesia, yang dalam cakupan diskriminasi rasial 1965, salah satunya adalah terhadap kelompok etnis Tionghoa. Berbagai peraturan tersebut meliputi kewajiban memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), pembatasan terhadap kelompok untuk mendapat pendidikan, pembatasan untuk menjadi pegawai negeri/tentara/polisi, pelarangan penggunaan bahasa (Mandarin), pembatasan kepemilikan tanah, seperti Instruksi Kepala Daerah DIY No. 398/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian hak atas tanah kepada Seorang WNI non-Pribumi. Intruksi Kepala Daerah Yogyakarta ini melarang warga etnis Tionghoa memeliki tanah. (Laporan alternatif pelaksanaan konvensi penghapusan Segala bentuk diskriminasi rasial (icerd) di Indonesia ). Bahkan sampai dengan pelarangan berdagang pada wilayah daerah kabupaten/swatantra pada tahun 1959.
Rezim Soeharto yang berkuasa di Indonesia yang berlangsung begitu lama, memberikan rung gerak yang sempit bagi etnis Tionghoa dalam menjalanakan ritual keagamaan, berpolitik, dan menjalankan kehidupan sehari-hari hal ini dapat dilihat dari tindakan rezim Orde Baru yang melarang penggunaan bahasa dan aksara Tionghoa serta larangan merayakan ritual agama, budaya dan tradisi Tionghoa, sehingga menimbulkan rasa takut dan enggan sebagian besar etnis Tionghoa untuk memasuki wilayah politik. Data lain terungkap dalam riset yang dilakukan Christine Susanna Thjin, peneliti dari CSIS menyatakan bahwasnya Mayoritas elite politik Indonesia pun masih berkutat di stigma bahwa orang Tionghoa adalah ‘binatang ekonomi’ dan ‘apolitis’ - yang merupakan buah asumsi tidak mendasar bahwa komunitas Tionghoa yang hanya 2% dari populasi, tapi menguasai 70% ekonomi nasional.
Salah satu bentuk diskriminasi juga yang terjadi pada masyarakat etnis Tionghoa yaitu, pada artikel di The new york times, tertera kalimat: Some repers said: ”You most be reped becouse you are Chinese and non moslem”. Maksudnya beberapa pemerkosaan yang terjadi pada kerusuhan 12 dan 13 mei 1998 mengatakan, kamu harus diperkosa karena kamu orang Cina dan bukan orang muslim ( Syafiie, inu kencana dan azhari, 2005 :44 ). hal ini sudah barang tentu bukan ajaran islam karena setiap pelecehan sexual dalam islam harus dihukum cambuk sampai mati. Seolah-olah para preman sebagai pencipta konflik diajarkan kata-kata pada artikel tersebut, lalu dengan tabir agar seolah-olah menyerupai umat islam melakukan perkosaan dan pembantaian terhadap salah serang gadis etnis Tionghoa, yaitu bernama Ita Martadinata, dan hal itu sampai membuat Kapolri dan Kapolda DKI ikut bicara, karena sesuai rencana Ita Martadinata akan megucapkan pernyataan yang jujur dan terbuka di hadapan lembaga Hak Asai Manusia yang berada dibawah PBB
Pemerintah Orde baru memanfaatkan preman sebagai strategi untuk melakukan porak poranda yang pada akhir riwayatnya terkenal dengan teori layang-layang putus. Artinya sewaktu kita menjadi anak-anak kita berebut layang-layang dan dari pada tidak mendapatkannya sama sekali kita merobek-robeklnya ( Syafiie, Inu Kencana dan Azhari, 2005 :44 ). Begitulah dengan pemerintah bila tidak lagi berkuasa dan ada kemungkinan dihujat bahkan diadili maka sebaiknya negara yang dulu diperintah ini dihancurkan. Namun, mau tidak mau, suka tidak suka, sejarah terus berjalan dan reformasi pun diambang pintu.

2.3.2 ERA REFORMASI

Pada 1998 mahasiswa dan segenap maryarakat Indonesia melakukan demonstrasi secara besar-besaran di kota Jakarta, sehingga keadaan di Indonesia menjadi tidak kondusif. dan akhir dari demonstrasi tersebut membuahkan hasil yaitu tumbangnya rezim orde baru yang otoriter. Ada masalah mengenai pendapat bahwa demokrasi dan HAM merupakan dua sisi mata uang yang sama. Masalah ini berkaitan dengan banyaknya transisi menuju demokrasi yang belum selesai ( Sorensen, Georg, 1993:161). Tumbangnya rezim orde baru disambut dengan kegembiraan oleh segenap etnis tionghoa karena pada era reformasi, Bj Habibie mengambil alih kekuasaan pada saat itu. Diskriminasi mulai di hapuskan, hal ini terlihat Pada tanggal 16 september 1998 presiden Bj Habibie mengeluarkan inpres No.26/1998 yang isinya menghapus istilah masyarakat pribumi dan masyarakat non pribumi. Dan setehun setelah itu, dikeluarkan juga inpres No 4 tahun 1999 yang menghapuskan surat bukti kewarganegaraan repoblik indonesia (SKBRI). Sehingga masyarakat tionghoa merasa diakui sebagai warga negara Indonesia.
Proses demokrasi di Indonesia yang mulai mengarah kepada sosok demokrasi yang sebenarnya memberikan peluang lebar bagi setiap lapisan masyarakat untuk bebas aktif berpolitik, tanpa adanya pembedaan baik itu suku, agama, etnis, dan kelas ekonomi. Pada reformasi bergulir, masyarakat etnis Tionghoa juga mulai aktif di kancah perpolitikan baik itu daerah maupun ditingkat nasional hal ini dapat dilihat dari pemilu 1999 yang menghasilkan beberapa orang Tionghoa yang berhasil duduk di kursi DPR, DPRD, maupun MPR. Pada era tersebut terdapat nama-nama seperti Kwik Kian Gie (kemudian menjadi menteri), Ir. Tjiandra Wijaya Wong dari PDIP, Alvin Lie Ling Piao dari PAN, Ir. Engartiato Lukita dari Golkar dan LT Susanto dari Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia. Di MPR ada Hartati Murdaya Poo dari Walubi yang mewakili utusan golongan dan Daniel Budi Setiawan yang merupakan Wakil Utusan Daerah Jawa Tengah.











BAB III
METODE PENULISAN



3.1 Prosedur Pengumpulan Sumber Pustaka

Penulisan ini bersifat deskriptif dan agar penulisan karya tulis ini lebih akurat, maka penulis mencari sumber pustaka dari berbagai literatur yang relevan dengan masalah yang dipilih untuk digunakan sebagai referensi. Referensi yang digunakan terutama adalah, makalah-makalah, artikel-artikel yang dimuat di koran dan internet, serta buku-buku yang sesuai dengan masalah penulisan.


3.2 Analisis Sumber Pustaka

Setelah mencari, mengkaji dan menelaah berbagai data, informasi dan sumber pustaka yang ada, penulis melakukan analisa terhadap konsep dan hal-hal yang terkait dengan perumusan masalah. Selain itu, penulis juga melakukan beberapa kali diskusi hangat baik formal maupun non formal dengan sejumlah para pakar dan menanyakan juga pada para menteri dalam forum seminar beberapa waktu lalu. Setelah melakukan analisa dan sintesis terhadap fakta-fakta yang ada, maka penulis kemudian menarik simpulan yang akan menjawab perumusan masalah tersebut.










BAB IV
PEMBAHASAN


4.1 DISKRIMINASI PADA ETNIS TIONGHOA

Nasionalisme Tionghoa termasuk peranakan, tumbuh terpisah dari dan dikehendaki pemerintah Indonesia ‘rezim Orde Baru’ dengan kebijakan asimilasinya. Di satu sisi kecenderungan untuk mempertahankan identitas etnisnya terdapat pada sebagian warga etnik Tionghoa; sedangkan di sisi lain, mereka telah merasa menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Nasionalisme Indonesia dikonstruksi berdasarkan konsep ‘kepribumian’ (indigenism), dan etnik Tionghoa dikategorikan sebagai orang asing atau Vreemde Oosterlingen (Foreign Oriental) yang dianggap bukan merupakan bagian dari nasion Indonesia.
Kebijakan ini ditandai dengan penghapusan pilar-pilar kebudayaan Tionghoa (termasuk penutupan sekolah Tionghoa, pembubaran organisasi etnik Tionghoa dan pemberedelan mass media Tionghoa) serta simbol-simbol dan adat-istiadat etnik Tionghoa. Bentuk diskriminasi juga yang terjadi pada masyarakat etnis Tionghoa yaitu, pada artikel di The new york times, tertera kalimat: Some repers said: ”You most be reped becouse you are Chinese and non moslem”. maksudnya beberapa pemerkosaan yang terjadi pada kerusuhan 12 dan 13 mei 1998 mengatakan, kamu harus diperkosa karena kamu orang cina dan bukan orang muslim.
Banyak sekali bentuk bentuk diskriminasi kepada etnis Tionghoa saat sebelum reformasi terjadi. rezim Orde Baru yang melarang penggunaan bahasa dan aksara Tionghoa serta larangan merayakan ritual agama, budaya dan tradisi Tionghoa, dan lain sebagainya. Di masa Orde Baru juga terdapat segelintir pengusaha Tionghoa yang dijadikan kroni oleh para penguasa untuk menumpuk kekayaan. Dalam melakukan bisnisnya mereka banyak melakukan tindakan-tindakan kotor yang sangat merugikan rakyat. Sudah tentu hal ini menimbulkan citra yang sangat buruk bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia. Perbuatan mereka benar-benar merusak kehormatan etnis Tionghoa dan menjadikan mereka sasaran empuk ketidakpuasan rakyat.
Terjadi generalisasi di masyarakat bahwa etnis Tionghoa adalah binatang ekonomi yang rakus belaka. Padahal mayoritas etnis Tionghoa adalah kalangan menengah ke bawah. Pada umumnya para pedagang Tionghoa adalah pedagang perantara dan distribusi yang jauh dari praktek KKN, malahan merekalah yang selalu menjadi korban pemerasan para birokrat dan preman. Dalam setiap aksi kerusuhan merekalah yang selalu menjadi korban penjarahan dan perusakan.
Tidak memiliki hak untuk dipilih uga merupakan salah satu cara politik pada masa rezim orde baru, agar masyarakat tetap menjadi pelaku ekonomi yang tidak pernah akan mengenal ranah politik.

4.2 TIONGHOA DI RANAH POLITIK KALIMANTAN BARAT

Dengan keberhasilannya di bidang ekonomi, selama ini warga Tionghoa selalu dianggap sebagai ‘kelompok dominan’, walaupun secara politik aspirasi dan kepentingannya selalu termarginalkan. Mengingat kondisi ‘keterpasungan politik’ yang dialami warga Tionghoa selama tiga puluh tahun (selama pemerintahan Orde Baru), adanya keinginan yang kuat di kalangan warga Tionghoa untuk mempunyai representasi yang bisa mewakili aspirasi dan kepentingan politik warga Tionghoa bisa dipahami.
Sejak terjadinya Tragedi Mei ’98 dan runtuhnya rezim Orde Baru serta dimulainya era Reformasi, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan sosial politik orang-orang Tionghoa di Indonesia. Berbagai peristiwa tersebut menimbulkan kesadaran di kalangan etnis Tionghoa bahwa ada sesuatu yang salah dalam kehidupan mereka.
Dimulai dari pemlu tahun 1999 yang menghasilkan beberapa orang dari etnis Tionghoa yang duduk di kursi DPR, MPR, dan DPRD. Kemudian diikuti dengan pemilihan umum tahun 2004 lebih dari dua ratus orang etnis Tionghoa menerjunkan diri menjadi caleg, baik untuk DPR maupun DPRD. Namun pada umumnya mereka hanya digunakan oleh berbagai partai politik terutama partai-partai gurem untuk menghimpun suara dan dana.Mereka hampir semuanya ditempatkan di posisi nomor sepatu. Para caleg Tionghoa ini kebanyakan adalah para pengusaha golongan menengah yang sangat naïf dalam persoalan politik dan belum siap untuk terjun ke kancah politik praktis. Dari seluruh caleg tersebut hanya beberapa orang saja yang berhasil menjadi anggota DPR dan sekitar tigapuluh orang menjadi anggota DPRD di seluruh Indonesia. ini merupakan sebuah pertanda demokrasi di bangsa ini mulai derjalan dengan baik.
Etnis tionghoa di Kalimantan Barat terdapat 20,30% jumlah ini menempati urutan nomor ketiga etnis besar di Kalimantan Barat setelah etnis Sambas. etnis Tionghoa yang hampir menyebar di setiap kabupaten/kota di seluruh Kalimantan Barat, dan jumlah populasi etnis Tionghoa yang paling banyak terdapat di kota Singkawang 42 % dari jumlah penduduk kota Singkawang sehingga tidak heran kota Singkawang dikenal sebagai ”kota amoi”.
Dengan jumlah populasi etnis Tionghoa di Kalimantan Barat yang banyak, tentunya hal ini berpengaruh dalam partisipasi pemilihan umum (pemilu) di propinsi ini. Pada tahun pemilu 1999 Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia (PBI) di bawah pimpinan Nurdin Purnomo. Sebelumnya partrai ini mengklaim akan didukung oleh seluruh warga Tionghoa, sebanyak empat juta pemilih. Kenyataannya, PBI hanya mendapat satu kursi di parlemen dari daerah Kalimantan Barat.
Artinya, masyarakat etnis Tionghoa di Kalimantan Barat yang banyak ini sangat mempengaruhi suara didalam pemilu. seperti yang kita ketahui hangatnya Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur dan Pilwalkot Singkawang, yang belum lama ini diselenggarakan secara serentak. Telah terpilihnya wajah-wajah baru dari kalangan yang selama ini dianggap tidak mampu berpolitik praktis. Drs. Christiandy Sanjaya dan Hasan Karman, keduanya merupakan pemain politik dari kalangan Tionghoa yang akan mempunyai peranan penting dalam kemajuan Kalbar.
Sebentar lagi akan diselenggarakannya pilwakot Pontianak yang akan diselenggarakan pada tangga 25 oktober. dari 7 pasang calon, dan terdapat dua pasang calon walikota(cawakot) dan calon wakil walikota (cawawakot) dari etnis Tionghoa, yaitu Harso Utomo ( cawakot ) berpasangan denga H. Awaludin, Hartono Azas (cawawakot) berpasangan dengan Oscar Primadi, dan Setiawan Lim (cawawakot) berpasangan dngan Gusti Hersan. Sebelum mereka, sudah ada beberapa nama yang mendahului mereka terjun dalam perpolitikan Kalbar, seperti Michael Yan Sri Widodo, Andreas Acui Simanjaya, Yansen Akun Effendi dan beberapa nama lagi.



4.3 HARMONISASI ETNIS DALAM PEMBANGUNAN KALIMANTAN BARAT

Dengan terpilihnya Cornelis dan Cristiandy sanjaya sebagai gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Barat pada pilkada 2007 yang lalu. terpilihnya kedua pasangan calon ini menandakan bahwasanya demokrasi didaerah ini telah mulai berjalan. Walaupun pada masa sebelum reformasi mereka merupakan masyarakat yang termarjinalkan. Pilkada damai pada pemilihan gubernur yang lalu meberikan perspektif yang positif di daerah ini, karena masyarakat dapat menerima secara lapang dada. Hal ini sangat berbeda dengan daerah lain di luar Kalimantan Barat, yang dimana terjadi bentrok antara pendukung pasangan calon yang tidak menerima hasil dari pencoblosan.
Harmonisasi dalam etnis merupakan topik yang seringkali didengar ketika saat kampanye tiba. hampir setiap pasangan calon kepala daerah baik itu pemilihan bupati, walikota, dan gubernur. wacana untuk mewujudkan pembangunan Kalimantan Barat yang harmonis, tanpa adanya koflik etnis maupun agama Kalimantan Barat yang terdiri dari multi etnis yang hidup saling berdampingan dengan rukun hal ini sangat lah wajar, karena di Kalimantan Barat pernah terjadi konflik antar etnis beberapa tahun yang lalu sehingga menimbulkan terauma bagi seluruh masyarakat Kalimantan Barat terutama etnis atau suku yang terlibat dalam konflik.
Maka dari itu, ketika yang menjadi pemimpin didaerah ini bukan dari suatu etnis yang dominan, bukanlah menjadi sebuah hambatan untuk melakukan pemerataan pembangunan. Baik itu dalam bidang prekonomian, sosial, budaya, dan bahkan agama. Dengan syarat kita semuanya harus sudah dapat hidup dengan saling menghargai satu sama lainnya. Namun tidak bisa dipungkiri, tetap saja rasa khawatir akan adanya tidak kemerataan pembangunan menjadi wacana yang tidak henti-hentinya. Hal tersebut sangatlah wajar karena mengingat baru 10 tahun masyarakat terlepas dari diskriminasi politik pada pada rezim orde baru. Dan kini mereka telah menduduki jabatan strategis tersebut.
Masa tarnsisi pada saat ini, cepat atau lambat maka kita akan menuju kepada arah demokrasi yang sebenarnya. Sehingga pembangunan diberbagai aspek dapat terwujudkan, dan harmnisasi etnis harus tetap terjaga agar pembangunan di Kalimantan Barat ini semakin cepat.dan tentunya hal ini juga akan berpengaruh kepada pembangunan ditingkat nasional.
BAB V
PENUTUP


5.1 Simpulan

Runtuhnya rezim Orde Baru telah membawa perubahan yang begitu besar didalam partisipasi politik etnis Tionghoa, yang pada saat itu mereka hanya mempunyai hak memilih dan tidak berhak dipilih. namun pada saat Reformasi mereka diberikan hak untuk dipilih.
Demokrasi di Indonesia telah menuju kearah yang sebenarnya, dimana hak-hak setiap masyarakat sudah mulai diberikan tentunya dalam hal ini yaitu kebebasan bagi etnis Tionghoa yang merupakan masyarakat pendatang mulai diakui sebagai warga negara Indonesia dengan dihapuskannya istilah masyarakat pribumi dan masyarakat non pribumi dan diberikan haknya untuk dipilih menjadi kepala daerah.

5.2 Saran

Dengan di keluarkannya inpres No.26/1998 yang isinya menghapus istilah masyarakat pribumi dan masyarakat non pribumi. maka dari itu, masyarakat juga harus menghilangkan istilah seperti ini, supaya jurang pemisah antara pribumi dan non pribumi tidak terdapat lagi. Dan kita dapat hidup rukun dan harmonis dalam multi etnis agar proses pembangunan di Kalimantan Barat ini terselenggara dengan cepat, baik itu dibidang perekonomian, pangan, sosial, politik, pendidikan maupun pertahanan dan keamanan.








DAFTAR PUSTAKA


Abdillah, Masykuri.1999.Demokrasi di Persimpangan Makna.Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya
Beetham, David dan Boyle, Kevin.2000.Demokrasi.Yogyakarta: Kanisius.
Magnis, Franz dan Suseno.1997.Mencari Sosok Demokrasi.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sorensen, Georg.1993.Demokrasi dan Demokratisasi.Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.1985.Analisa Kekuatan Politik di Indonesia.jakarta:LP3ES.
Koentjaraningrat.1971.Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.Jakarta: Djambatan.
Ravitch, Diane dan Thernstrom. 2005. Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Syafiie, inu Kencana dan Azhari. 2005. Sistem Politik Indonesia. Bandung: PT Rafika Aditama.
Sukarna. 1990.Sistem Politik 2. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sjamsuar, Zumri Bestado.2001.Dua Sayap Demokrasi.Pontianak: Fakultas Hukum UNTAN dan Pemda Pripinsi Kalbar.
http://rajaborneo.blogspot.com/2007/12/tionghoa-wajah-baru-dunia-perpolitikan.html
http://forum.cari.com.
http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa
http://www.budaya-tionghoa.org :.
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.
http://osdir.com/ml/culture.region.china.budaya-tionghua/2005-11/msg00318.html
http://ns1.cic.ac.id/~ebook/ebook/adm/myebook/0008.
http://id.inti.or.id/specialnews/10/tahun/2008/bulan/02/tanggal/08/id/393/print/
http://www.fisip.ui.ac.id/antropologi/httpdocs/jurnal/2003/71/02ktpls71.
http://kotasingkawang.com/humas/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=112
http://www.nabble.com/-sastra-pembebasan--fw:-partisipasi--politik,-sosial--dan--ekonomi--etnis-tionghoa-indonesia-di-era--reformasi-td17075745.html
http://www.ginandjar.com/public/03Budaya%20Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar