EKSISTENSI MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
A. Latar Belakang
Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945) sebelum mengalami perubahan, di dalam
penjelasan umumnya antara lain menyebutkan bahwa, UUD 1945 adalah UUD
yang singkat, supel, dan rigid. Singkat; karena tidak banyak pasal dan
ayatnya; supel, karena hanya memuat aturan-aturan yang pokok-pokok
saja dan sekaligus terkandung sifat rigid di dalamnya, yaitu sulit
diubah secara formal. Sebelum diubah, materi muatan UUD 1945 terdiri
dari Pembukaan dan Batang Tubuh yang memuat 16 bab dan 37 pasal, 4
aturan peralihan serta 1 (satu) aturan tambahan. Kemudian pasal-pasal
tersebut dilengkapi dengan penjelasan yang berfungsi untuk
menginterpretasikan isi dari batang tubuh tersebut. Adapun materi
muatan yang terdapat dalam UUD 1945, beberapa di antaranya adalah
mengatur kedudukan dan kekuasaan lembaga-lembaga negara, secara
keseluruhan seperti: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Dari
lembaga-lembaga negara tersebut, menurut Jimly Ashiddiqie, hanya MPR
saja bersifat khas Indonesia. Lima lainnya berasal dari cetak biru
kelembagaan yang dicontoh dari zaman Hindia Belanda. DPR dapat
dikaitkan dengan sejarah ‘Yolksraad’ (Dewan Rakyat), Presiden adalah
pengganti dari lembaga negara ‘Gavernuur General’ , Mahkamah Agung
sendiri berkaitan dengan ‘Landraat’ dan ‘Raad van Justice’ di Hindia
Belanda, serta ‘Hogeraad’ yang ada di Negeri Belanda. Sedangkan BPK
berasal dari ‘Raad van Rakenkamer’ dan DPA berasal dari ‘Raad van
NederlendscheIndie’ yang ada di Batavia atau ‘Raad van State’ yang ada
di Negeri Belanda, sedangkan MPR tidak ada contoh sebelumnya, kecuali
yang ada di lingkungan negara-negara komunis yang menerapkan sistem
partai tunggal, dimana kedaulatan rakyat disalurkan ke dalam
pelembagaan Majelis Rakyat yang tertinggi (Supreme People’s Council)
seperti di Uni Soviyet dan RRC. Selama diberlakukannya UUD 1945, ada
yang menarik dengan struktur ketatanegaraan Republik Indonesia, yaitu
tentang keberadaan MPR. Dimana dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
dikatakan: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” Ketentuan tersebut
secara otomatis menempatkan MPR sebagai satu¬satunya lembaga pemegang
kedaulatan rakyat atau dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia, berbeda dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Dengan kata
lain, MPR RI didaulat sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Sebagai Lembaga
Negara, MPR dipandang sebagai lembaga negara yang memiliki otoritas
untuk menafsirkan konstitusi (UUD 1945) dan membagi-bagikan kekuasaan
negara yang diamanatkan rakyat melalui pemilihan umum kepada lembaga
tinggi negara lain yang ada di bawahnya. Namun dalam perjalanan bangsa
Indonesia, terutama pada masa Orde Baru, seringkali UUD 1945 tidak
ditaati terutama oleh pemerintah. Berbagai penyimpangan muncul seperti
pembagian kekuasaan yang tumpang tindih, bahkan bias dikatakan
kacau-balau karena dominannya peran pemerintah dalam melakukan
intervensi, bahkan mengambilalih tugas, wewenang dan fungsi
lembaga-lembaga lainnya. Azas lex superior derogate legi inferiori
dalam pembuatan perundang-undangan seringkali tidak diindahkan,
sehingga terjadi tumpang-tindih peraturan yang lebih rendah dengan
peraturan yang lebih tinggi. Walaupun pada Pasal 37 UUD 1945 memberi
peluang untuk mengubah (amandemen) UUD 1945, namun pemerintah Orde
Baru terkesan mengesampingkan hal tersebut dengan alasan melaksanakan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dengan pengertian bahwa UUD 1945
adalah amanat para pendiri bangsa yang harus dijaga dan dihormati
(disakralkan) sehingga tidak boleh dikutak-katik. Hal ini dapat
dilihat dalam Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 jo Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1983. Namun setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru, 21 Mei
1998, dan bergulirnya Era Reformasi, berbagai elemen masyarakat
menuntut adanya perubahan terhadap UUD 1945. Tuntutan itu muncul
sebagai reaksi atas dominannya kekuasaan eksekutif (executive heavy)
dalam bingkai UUD 1945, tidak adanya check and balances antarlembaga
negara serta beragamnya tafsir terhadap bunyi pasal dalam UUD 1945.
Selain itu, banyak persoalan ketatanegaraan Indonesia yang tidak
ditemukan jawabannya karena desain UUD 1945 sangat simpel. MPR
merespon tuntutan masyarakat tersebut dan melakukan perubahan UUD 1945
sebanyak 4 (empat) kali pada tahun 1999-2002. UUD 1945 yang semula
terdiri dari 16 bab, 37 pasal dan 49 ayat menjadi 21 bab, 73 pasal dan
170 ayat. Meskipun perubahan terhadap materi muatan hampir 50% tetapi
masih terdapat inkonsistensi substansi teoritik maupun yuridis.
Strukturisasi atau sistemisasi pasal-pasal tambahan yang tidak
konsisten tersebut melahirkan inovasi politik dan hukum. Perubahan UUD
1945 pun menimbulkan perubahan dalam sistem ketatanegaraan, dimana
hal ini juga menimbulkan perubahan dalam badan perwakilan di Indonesia.
Sistem perwakilan di Indonesia setelah perubahan UUD 1945 memiliki
badan perwakilan yang terdiri dari DPR (merupakan representasi dari
kepentingan politik) dan DPD (representasi kepentingan daerah).
Masing-masing lembaga negara tersebut, dalam pengisian keanggotaannya
dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum, selain itu ada juga MPR
yang mempunyai lingkungan jabatan dan wewenang tersendiri.
Keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan DPD. Sehingga di
Indonesia, badan perwakilannya terdiri dari DPR, DPD dan MPR. Sedangkan
bila direlevansikan dengan sistem perwakilan yang ada di dunia yaitu
unikameral dan bikameral, maka Indonesia tidak menganut keduanya.
Menyangkut kedudukan MPR RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
terjadi pergeseran dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga Negara
yang sejajar dengan lembaga negara lainnya seperti Presiden, DPR,
DPD, BPK, MA, MK, dan KY. Hal ini dimaksudkan supaya masing-masing
lembaga negara dapat saling mengawasi dan mengimbangi. Perubahan yang
menyangkut khusus tentang MPR, berimplikasi pula pada berkurangnya
kewenangan lembaga tersebut, di antaranya adalah kewenangan dalam hal
memilih presiden dan wakil presiden. Menurut Pasal 3 UUD 1945, MPR
hanya berwenang: mengubah dan menetapkan UUD; melantik presiden dan/
atau wakil presiden; memberhentikan presiden dan/ atau wakil presiden
dalam masa jabatannya menurut UUD; Mengingat kecilnya peran MPR, muncul
berbagai pemikiran untuk tidak melembagakan MPR sebagai organisasi
tersendiri. Dengan demikian, MPR hanya sebagai sidang gabungan (joint
session) antara DPD dan DPR. Dengan demikian, MPR tidak akan mempunyai
pimpinan tersendiri dan lembaga ini tidak ada bila tidak ada gabungan
tersebut. Keberadaan MPR berdasarkan perubahan UUD 1945 sebagai
sebuah lembaga negara kemudian dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
menjadi tidak jelas. Hal tersebut memunculkan berbagai perdebatan
tentang sistem badan perwakilan yang dianut Indonesia yaitu,
unikameral, bikameral atau trikameral. Sedangkan menyangkut
keberadaannya sebagai sebuah lembaga Negara yang berdiri sendiri juga
patut diperdebatkan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR sebelum perubahan UUD 1945?
2. Bagaimanakah susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR setelah perubahan UUD 1945?
http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=199:eksistensi-majelis-permusyawaratan-rakyat-dalam-sistem-ketatanegaraan-indonesia-setelah-perubahan-undang-undang-dasar-1945&catid=5:perizinan&Itemid=119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar